Liputan Khusus
LIPSUS: 85 Persen Pelajar Terpapar Seks Bebas, Kasus HIV AIDS Meningkat
Komisi Penanggulangan Aids Daerah (KPAD) Lembata menemukan banyak pelajar SMP dan SMA pada 16 sekolah terpapar seks bebas.
Ia menjelaskan, dari hasil analisis data, kelompok usia produktif 25-49 tahun menjadi yang paling tinggi dengan 30 kasus, disusul kelompok usia di atas 50 tahun 8 kasus, dan usia 20-24 tahun 6 kasus. Sementara kelompok anak dan remaja (5-19 tahun) tidak ditemukan kasus baru sepanjang tahun ini.
Dari sisi jenis kelamin, tambahnya, laki-laki mendominasi jumlah kasus dengan 30 orang, sementara perempuan sebanyak 14 orang.
Meski jumlah kasus baru di tahun 2025 lebih rendah dibanding tahun 2024 yang mencapai 92 kasus, namun angka tersebut tetap menjadi peringatan bahwa upaya pencegahan dan edukasi harus terus ditingkatkan.
Lebih lanjut, Yustina menjelaskan program pengendalian HIV/AIDS di Kabupaten Belu sejalan dengan target nasional “3 Zero 2030”, yaitu zero new infection (tidak ada infeksi baru), zero AIDS-related death (tidak ada kematian akibat AIDS), dan zero discrimination (tidak ada diskriminasi terhadap ODHA). (cbl/rey/gus/mey)
*1.786 ODHA Enggan Berobat
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) NTT menemukan sejumlah kendala dan tantangan yang dihadapi dalam menghadapi persoalan HIV/AIDS di NTT.
Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi NTT, Adrianus Lamury saat dihubungi Pos Kupang, Senin (6/10) mengatakan, tingginya praktik hubungan seksual di usia remaja diakibatkan informasi pornografi yang mudah diakses kaum muda saat ini.
Selain itu, masih rendahnya edukasi kesehatan reproduksi di kalangan remaja, hingga kasus HIV yang menginfeksi masyarakat di pelosok pedesaan yang jauh dari pusat perkotaan. Untuk menjangkau wilayah tersebut membutuhkan dana operasional yang tinggi namun KPA tidak mempunyai dana yang cukup.
“Hingga saat ini anggaran di daerah bervariasi namun di Provinsi NTT hanya Rp 100 juta sedangkan anggaran yang ideal untuk penanggulangan HIV AIDS di daerah kepulauan adalah Rp 500 juta.
Kendala lain yang dihadapi KPA tambahnya, jumlah pekerja seks perempuan yang tidak berkonsentrasi sehingga menyulitkan LSM dan KPA untuk menjangkau dan mendorong untuk test HIV dan infeksi menular seksual.
Juga rendahnya ketersediaan kondom di daerah non intervensi pendanaan global fund, banyaknya kabupaten yang sangat minim pendanaan bagi pengendalian HIV/AIDS.
Warga Peduli AIDS (WPA) yang dibentuk KPA hanya ada di 225 desa dan kelurahan tetapi banyak yang tak berjalan karena tak ada dana operasional. Sementara LSM Peduli AIDS hanya tersedia di Kota Kupang, Kabupaten Sikka dan Kabupaten Belu saja.
Baca juga: Razia Pemberantasan Peredaran Narkoba, Handphone dan Pungli di Lapas Atambua
Sementara kabupaten lain mengandalkan KPA dalam menjangkau populasi berisiko tinggi dan pendampingan ODHA/ODHIV.
Selain itu, masih terjadinya keterlambatan distribusi obat ARV bagi ODHA/ODHIV bagi beberapa daerah hingga masih tinggi nya kasus ODHA/ODHIV yang lari dari pengobatan serta masih banyak ODHIV yang telah tahu status HIV dirinya tetapi belum mau minum obat ARV.
Ia menambahkan, data terbaru terkait ODHA/ODHIV yang lari dari pengobatan/LFU sesuai data per 31 Juli tahun 2025 ada 1.786.
"Kita juga harus mengorganisir ODHA dalam kelompok dukungan sebaya agar dapat memiliki wadah untuk saling mendukung atau sharing diantara mereka," ungkapnya. (ria)
*Ancaman Serius Bagi Anak
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) NTT menilai kasus prostitusi online yang menyeret mantan Kapolres Ngada merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat menyakitkan dan mencoreng wibawa aparat penegak hukum.
Ester Ahaswati Day, S.H., Pengacara LBH APIK sekaligus kuasa hukum dari tiga anak korban dalam kasus tersebut menjelaskan, peristiwa itu bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap tanggung jawab moral seorang aparat Kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat.
Ester saat diwawancarai Pos Kupang, Senin (7/10/2025) di kantor LBH APIK menjelaskan, LBH APIK mendampingi tiga anak korban, dua di antaranya adalah anak yang melakukan praktik prostitusi online.

Pendampingan dilakukan bersama DP3A Provinsi NTT, psikolog profesional, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tujuannya agar para korban mendapatkan perlindungan komprehensif selama proses hukum berjalan.
“Kami berikan pendampingan hukum, psikologis, sosial, dan juga memastikan anak-anak tinggal di tempat aman. Dua anak kami tempatkan di shelter dan satu anak bersama keluarga, tetapi dalam pengawasan ketat,” ujar Ester.
Selama proses penyidikan dan pemeriksaan, tim LBH APIK harus bekerja ekstra agar anak-anak korban merasa aman untuk memberikan keterangan. Korban yang masih berusia di bawah 10 tahun sulit bercerita secara terbuka tanpa pendekatan khusus.
“Kami menggunakan pendekatan bermain. Anak-anak ini baru mau bercerita saat mereka merasa nyaman. Jadi kami siapkan alat permainan sederhana, supaya proses pengambilan keterangan tidak menimbulkan tekanan psikis,” katanya.
Selain mendampingi di tahap pemeriksaan, LBH APIK juga berkoordinasi dengan pihak shelter, DP3A, dan psikolog untuk memastikan kondisi mental korban tetap stabil.
“Proses hukum panjang, dan bagi anak-anak ini sangat melelahkan. Karena itu kami fokus pada pendampingan berkelanjutan sampai pasca putusan nanti,” ujar Ester.
Ester menegaskan, keadilan bagi korban anak tidak berhenti pada hukuman berat bagi pelaku, tetapi juga bagaimana negara memastikan korban bisa kembali menjalani hidupnya dengan aman, bersekolah, dan mendapat pemulihan psikologis.
Baca juga: FEATURE: Festival Golo Curu 2025 di Manggarai, Lintas Agama Bersatu dalam Ritus Tuk Kopi
LBH APIK NTT menilai lemahnya edukasi dan pengawasan di tingkat keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial menjadi faktor utama anak mudah dieksploitasi. Perlindungan anak tidak bisa hanya diserahkan pada lembaga hukum.
Perlu keterlibatan aktif dari semua unsur masyarakat, terutama pemerintah daerah, sekolah, dan orang tua.
Perkembangan teknologi membawa manfaat besar, tapi tanpa pengawasan bisa jadi ancaman serius bagi anak. Anak-anak bisa terjerumus ke prostitusi online hanya karena kurang pengawasan dan edukasi.
Ester menegaskan pentingnya program edukasi dan sosialisasi di sekolah-sekolah dan tingkat kelurahan untuk mencegah anak terlibat dalam jaringan prostitusi online. Selama ini belum ada kerja kolaboratif yang kuat antara dinas terkait, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat. (uan)
Cegah Human Trafficking, Imigrasi Kupang Perkuat Sinergi dengan Pemkab dan Polres Rote Ndao |
![]() |
---|
Rayakan HUT ke-27, Bank Mandiri Gelar Pasar Murah di NTT |
![]() |
---|
Seruan Aksi Aliansi Rakyat Menggugat: Hentikan Pembangunan yang Merampas Hak Hidup Masyarakat NTT |
![]() |
---|
PN Kupang Gelar Konstatering Sengketa Tanah Nasipanaf |
![]() |
---|
Pempus Pangkas Anggaran, Pemprov NTT Siasati Opsi Lain untuk Gerakkan Ekonomi Daerah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.