Sidang eks Kapolres Ngada dan Fani

Juliana Ndolu : Menormalisasi Kekerasan Seksual dengan Alasan UU Lemah Sama Kejinya dengan Pelaku 

Akademisi Undana Kupang, Yuliana Ndolu, SH, menegaskan, anak yang melakukan pelacuran tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku.

POS KUPANG/HO
JULIANA NDOLU - Akademisi dari Undana Kupang, Dr. Juliana Ndolu, SH, M.Hum. 

Juliana Ndolu juga menyoroti status Fajar Lukman yang sata terjadinya peristiwa itu adalah sebagais eorang Kapolres, perwira tinggi, aparat penegak hukum (APH) yang seharusnya melindungi anak korban prostitusi. 

"Eks Kapolres Ngada – ada dalam  kapasitas sebagai seorang perwira tinggi, APH yang adalah wakil negara yang wajib  berkwajiban melindungi anak korban prostitusi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d Negara, pemerintah, dan pemerintah daerah wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual. UU Perlindungan Anak (UU No. 23/2002 jo. UU No. 35/2014)," jelas Juliana Ndolu.

Baca juga: Kasus Eks Kapolres Ngada, Akhmad Bumi: Ada Kesepakatan Produsen dan Konsumen

Karena itu Juliana Ndolu mengatakan, ketika ada yang membela pelaku kekerasan seksual dengan modus prostitusi anak, apalagi ketika dilakukan oleh aparat penegak hukum, hal itu merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap prinsip dasar hukum dan filsafat kemanusiaan.

"Membela pelaku kekerasan seksual dengan modus prostitusi anak, apalagi ketika dilakukan oleh aparat penegak hukum, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap prinsip dasar hukum dan filsafat kemanusiaan," kata Juliana Ndolu. 

Lebih lanjut Juliana Ndolu menjelaskan, dari aspek filosofis, anak bukanlah objek eksploitasi, melainkan subjek moral, sosial, dan hukum yang hak-haknya melekat secara kodrati dan wajib dihormati, dijamin, serta dilindungi. 

Eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman dikawal pihak kepolisian menuju mobil tahanan untuk dibawah ke Rutan Klas IIB Kupang.
Eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman dikawal pihak kepolisian menuju mobil tahanan untuk dibawah ke Rutan Klas IIB Kupang. (POS-KUPANG.COM/RAY REBON)

"Oleh karena itu, setiap upaya akademisi untuk merelatifkan atau bahkan membela tindakan aparat yang terlibat dalam prostitusi anak tidak hanya menyesatkan secara akademik, tetapi juga mengabaikan tanggung jawab kolektif bangsa dalam perlindungan anak," kata Juliana Ndolu. 

Akademisi, kata Juliana Ndolu, sebagai penjaga moral dan rasionalitas publik, justru memiliki kewajiban etik dan intelektual untuk memperkuat perlindungan anak, bukan menjadi bagian dari legitimasi atas praktik kekerasan yang merendahkan martabat kemanusiaan.  (vel)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

 

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved