NTT Terkini 

Ombudsman Ungkap Risiko Nilai Fantastis Tunjangan DPRD NTT

Pengalaman DPRD Kota Kupang periode lalu menunjukkan  demikian sehingga terpaksa semua kelebihan pembayaran tunjangan dikembalikan.  

Penulis: Irfan Hoi | Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/HO
Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT, Darius Beda Daton, S.H 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG  - Ombudsman NTT mengungkap risiko dibalik nilai fantastis tunjangan perumahan dan transportasi DPRD NTT

Kepala Ombudsman NTT Darius Beda Daton mengatakan, tunjangan perumahan dan transportasi itu akhir-akhir ini menjadi polemik di masyarakat. Protes publik diarahkan ke wakil rakyat. 

"Soal gaji dan tunjangan DPRD ini sudah baku diatur dalam peraturan perundangan kita," katanya, Minggu (7/9/2025). 

Aturan itu seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Umum (SBU) masing-masing daerah yang harus dipedomani ketika daerah membuat peraturan gubernur/peraturan bupati perihal tunjangan DPRD.

Bahkan mengenai kewajaran harga sewa rumah dan kendaraan untuk menetapkan angka tunjangan, Pemda menunjuk penilai untuk melakukan survei penilaian kewajaran harga. 

Baca juga: GMKI Kupang Nilai Tunjangan DPRD NTT Abaikan Keadaan Masyarakat


Masalahnya adalah jika Pemda dan DPRD tidak mau mempedomani itu dan tidak melalui fungsi review oleh inspektorat sebelum peraturan gubernur /peraturan bupati tentang tunjangan DPRD ditetapkan sehingga angka tunjangannya melampaui batas ketentuan. 

Darius menjelaskan, tunjangan perumahan dan transportasi DPRD provinsi yang diributkan saat ini, angka hasil tim penilai Pemprov jauh dibawah angka yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur NTT Nomor 22 tahun 2025 yang menjadi dasar pembayaran tunjangan DPRD saat ini.  

"Hasil survei penilai untuk sewa rumah di Kota Kupang paling tinggi Rp 4,5 juta/bulan dan  biaya transportasi paling tinggi Rp 18 juta/bulan," katanya. 

Dalam Pergub 22 tahun 2025, tunjangan perumahan Rp 23,6 juta dan transportasi Rp 29-31 juta. Menurut dia, bisa saja angka dalam Pergub ini sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. 

Namun, Ombudsman NTT berharap tunjangan itu mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT saat ini yamg warga 
miskinnya masih 1,1 juta orang.

Risikonya, bila diaudit BPK. Hal ini bisa terdeteksi dan andai menjadi temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) maka akan diperintahkan dikembalikan untuk kelebihan perhitungan tunjangan.

Apabila tidak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu bisa berpotensi menjadi tindak pidana korupsi berjemaah.

Pengalaman DPRD Kota Kupang periode lalu menunjukkan  demikian sehingga terpaksa semua kelebihan pembayaran tunjangan dikembalikan.  

"Tetapi jika inspektorat dan auditor BPK bisa diajak 'kompromi' maka hal itu tidak menjadi temuan atau ditutup diam-diam. Namun hal itu sulit dilakukan karena publik terlanjur tahu besaran tunjangan dan semua regulasi yang menjadi dasar perhitungan besaran tunjangan," ujarnya. 

Darius menyebut, perhitungan tunjangan telah diatur regulasi sehingga tidak bisa diatur sesuai selera dan kemauan kita semata. Dalam hal ini, NTT masih punya soal besar untuk kepatuhan pejabat negara  terhadap peraturan perundangan. 

Terutama dari sisi kepatutan,  kewajaran dan kepantasan yang mendasari pengambilan keputusan sebagaimana Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Itu masih jauh. 

Karena itu, Ombudsman NTT menyarankan  Pemerintah Provinsi bersama DPRD NTT serta para Bupati dan DPRD kabupaten/kota masing-masing mendiskusikan kembali besaran tunjangan dengan pertimbangan kemampuan keuangan daerah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT saat ini.

Dia mendorong adanya revisi Pergub 22 tahun 2025 maupun Peraturan Kepala Daerah yang mengatur tentang tunjangan bagi DPRD. Paling tidak bisa merespons tuntutan publik. Hal ini telah dilakukan pula oleh DPR RI dengan menurunkan tunjangan. 

"Kita di daerah tinggal meniru cara itu. Mari kita terus berupaya agar semua institusi negara dipercaya publik," katanya.

Dia menyebut, besaran tunjangan itu menimbulkan ketidakpercayaan publik. Padahal, kepercayaan publik menjadi modal utama dalam rangka membangun daerah. 

"Ketiadaan dukungan publik akan bermuara kepada apatisme publik dan rasa tidak memiliki daerah," katanya. 

Begitu juga dengan risiko lain yang harus ditanggung akibat runtuhnya kepercayaan publik. Muaranya, kata dia, pada kepatuhan warga membayar pajak/retribusi dan kepatuhan kebijakan pemerintah daerah lainnya. (fan)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS    

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved