Opini

Opini: Harapan di Tengah Absurditas Politik

Api harapan itu ada di dalam diri kita sebagai anak bangsa, baik sebagai pemimpin maupun sebagai rakyat biasa. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI YANTHO BAMBANG
Yantho Bambang 

Sementara dalam tatanan sosial, disparitas antara elite dan masyarakat umum sangat tajam, juga friksi sosial yang tak terelakkan.  

Lalu dari segi ekologis, kita tahu, bumi pertiwi mulai hancur karena segera setelah dilantik sebagai presiden dan seterusnya ia merentangkan karpet merah bagi para investor asing untuk mengeruk perut negara ini. 

Kemudian dalam tatanan moral dan kemanusiaan tak terbilang jumlah kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia. 

Berdasarkan catatan kompas.com, setidaknya terdapat beberapa kasus pelanggaran berat pada masa pemerintahan Soeharto, yakni; penembak misterius (1981-1985), peristiwa Tanjung Priok (1984-1987), peristiwa Talang Sari (1984-1987), peristiwa 29 Juli 1996, pristiwa Trisakti 12 Mei 1998, dan kerusuhan 13-15 Mei 1998 (Kompas.com, 23 Oktober 2025, 17:29 WIB).

Tumpukan krisis dan bencana itulah yang kemudian melahirkan reformasi sebagai bentuk perlawanan dan koreksi total terhadap rezim totalitarian Soeharto. 

Namun sampai kapapun sejarah kelam tersebut akan tetap terpatri dalam ingatan publik karena itu merupakan bentuk kejahatan dan pengkhianatan terbesar terhadap sesama saudara sebangsa dan setanah air yang pernah terjadi.

Karena itu memahkotai atau memberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional kepada seseorang yang diingat sebagai simbol totalitarianisme dan korup tidak hanya melukai nurani keluarga para korban yang sedang menanti keadilan dan kebenaran atas kejahatan rezim tetapi juga nurani bangsa Indonesia pada umumnya. 

Tindakan itu juga tidak hanya berisiko mengancurkan prinsip-prinsip fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti nilai keadilan, kebenaran, dan hak asasi manusia tetapi juga berisiko menghantar negara ini menuju jurang kehancuran.   

Melampaui pragmatisme politik

Memang jika ditelaah lebih dalam, sekelumit persoalan yang dialami negara kita hari-hari ini termasuk penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional sebenarnya berakar pada konflik kepentingan atau apa yang sering disebut sebagai pragmatisme politik. 

Namun tanpa disadari praktik itu pada akhirnya menyeret negara ini ke dalam kubangan krisis. Dan di tengah situasi bangsa yang kian meredup dan absurd itu, muncul pertanyaan, apakah masih ada harapan sehingga bangsa ini selamat? Jawabannya “ya”. 

Karena seperti kisah fiktif dalam novel Negeri Di Ujung Tanduk - seperti yang telah saya singgung pada bagain awal - karya Tere Liye, yang kendati berada di bawah kubangan krisis (kuk ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, KKN dan pengkhianatan), sebetulnya masih ada api harapan yang menyala. 

Di mana api harapan itu? Api harapan itu ada di dalam diri kita sebagai anak bangsa, baik sebagai pemimpin maupun sebagai rakyat biasa. 

Ia hanya perlu dinyalakan dengan satu hal sederhana yakni dengan membangun komitmen untuk melampaui pragmatisme politik yang telah lama menggerogoti dan mengggerus moral dan jiwa bangsa ini.

Manifestasi komitmen untuk melampaui prakmatisme politik salah satunya adalah dengan berani berhenti berbohong dan mulai menegakkan keadilan. 

Ini merupakan langkah konkret dalam upaya menyalakan api harapan untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved