Opini

Opini - Belajar dari Alam: Menemukan Makna Pembelajaran Kontekstual di Kupang

Kekayaan potensi yang dimiliki Kota Kupang belum sepenuhnya hadir dalam proses pembelajaran di sekolah. 

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
Fatmawati H.A. Zakariah, Magister Pedagogi pada Universitas Muhammadiyah Malang. 

Dengan demikian, anak-anak kota Kupang tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga tumbuh sebagai penjaga alam dan agen perubahan di lingkungannya sendiri.

Budaya Lokal sebagai Basis Pembentukan Nilai dan Identitas

Selain lingkungan alam, budaya lokal masyarakat Timor merupakan sumber pembelajaran yang sangat berharga. Nilai-nilai seperti gotong royong, kerja keras, solidaritas, dan penghormatan terhadap orang tua telah lama menjadi fondasi kehidupan sosial masyarakat kota Kupang. 

Nilai-nilai ini seharusnya diintegrasikan dalam kurikulum sekolah agar menjadi bagian dari pembentukan karakter peserta didik. Integrasi budaya lokal dalam pendidikan tidak hanya memperkaya materi pelajaran, tetapi juga memperkuat identitas kultural siswa serta menumbuhkan moralitas sejak usia dini.

Guru dapat mengadaptasi berbagai unsur budaya seperti cerita rakyat, musik tradisional, tarian daerah, dan permainan lokal sebagai media pembelajaran yang kontekstual dan menarik. 

Misalnya, kisah “Batu Kapur dan Angin Timur” dapat dijadikan bahan bacaan literasi sekaligus refleksi moral tentang keteguhan menghadapi kesulitan hidup. Lagu dan permainan tradisional seperti “Lia Nain” dan “Sonaf” juga dapat digunakan untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya daerah. 

Ketika nilai-nilai budaya diangkat dalam proses belajar, peserta didik tidak hanya memahami isi pelajaran, tetapi juga menginternalisasi identitas, kebanggaan, serta sikap hormat terhadap warisan leluhur mereka. 

Dengan cara ini, pendidikan di Kupang dapat menjalankan fungsi ganda: memperluas wawasan akademik sekaligus memperkuat akar budaya dan karakter bangsa.

Kolaborasi antara Sekolah dan Komunitas Lokal

Mewujudkan pendidikan berbasis lingkungan dan budaya lokal tidak dapat dilakukan secara parsial. Dibutuhkan kolaborasi lintas pihak antara sekolah, masyarakat, pemerintah daerah, dan lembaga pendidikan tinggi. 

Sekolah hendaknya membuka diri terhadap partisipasi komunitas lokal dalam kegiatan pembelajaran. Petani, nelayan, pengrajin, dan tokoh adat dapat berperan sebagai “guru tamu” yang berbagi pengalaman nyata kepada peserta didik. 

Model pendidikan berbasis komunitas ini terbukti efektif dalam menumbuhkan empati sosial, keterampilan kolaboratif, serta kemampuan komunikasi.

Beberapa sekolah di Kupang telah mengimplementasikan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning). Contohnya, siswa membuat taman sekolah dengan menanam tanaman khas NTT seperti kelor dan pohon asam (Ardithayasa et al., 2022). 

Kegiatan tersebut bukan hanya menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan, tetapi juga melatih tanggung jawab, kreativitas, dan kepemimpinan. Kolaborasi dengan masyarakat sekitar membuat sekolah menjadi lebih hidup dan bermakna. 

Pemerintah daerah juga dapat berperan dengan menyediakan dukungan kebijakan, pelatihan guru, dan pengembangan kurikulum berbasis potensi lokal agar gerakan pendidikan kontekstual ini berkelanjutan.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved