Opini
Opini: Tari Bidu Tais Mutin, Pesan Damai dari Tanah Malaka yang Menembus Waktu
Tarian ini bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah kisah hidup masyarakat Malaka, kisah tentang damai yang lahir dari kelembutan.
Oleh : Pieter Kembo
Seniman Budaya Nusa Tenggara Timur, tinggal di Kolhua, Kota Kupang
POS-KUPANG.COM - Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, menyimpan kekayaan budaya yang tak hanya indah dipandang, tetapi juga sarat makna kemanusiaan.
Salah satu yang paling berharga adalah Tari Bidu Tais Mutin — sebuah tarian tradisional yang merefleksikan kesucian, persaudaraan, dan rasa syukur kepada Tuhan atas perlindungan dalam kehidupan.
Tarian ini bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah kisah hidup masyarakat Malaka, kisah tentang damai yang lahir dari kelembutan.
Makna di Balik "Tais Mutin": Kain Putih sebagai Simbol Kesucian
Nama “Bidu Tais Mutin” berasal dari bahasa daerah Malaka. Tais Mutin berarti kain putih, lambang kemurnian hati, ketulusan, dan persatuan.
Dalam setiap pertunjukan, para penari — pria dan wanita — mengenakan busana adat khas Malaka dengan selendang putih di tangan mereka. Gerakan mereka lembut, anggun, dan penuh makna.
Baca juga: Opini: Gizi dari Samudra Biru
Kaki yang menyentuh tanah satu per satu menggambarkan penghormatan terhadap bumi dan tanah air, sementara bahu yang menunduk dengan senyum ramah melambangkan kerendahan hati dan penghormatan terhadap sesama.
“Selendang putih bukan hanya hiasan, tetapi simbol ajakan untuk hidup damai dan mencintai kehidupan,” ujar salah satu pegiat budaya Malaka.
Musik Tradisional yang Mengiringi Kehidupan
Tari Bidu Tais Mutin selalu diiringi musik tradisional khas Malaka — biola dan juklele, berpadu dengan nyanyian Elele serta pantun-pantun rakyat. Suaranya menciptakan suasana sendu, sakral, namun hangat di hati.
Iringan ini membuat penonton seolah dibawa masuk ke dalam ruang spiritual masyarakat Malaka, tempat di mana rasa syukur dan cinta kasih dipadukan dalam setiap langkah tarian.
Asal-Usul: Tarian yang Lahir dari Keberanian dan Cinta Damai
Sejarah Tari Bidu Tais Mutin berakar pada masa penjajahan Jepang di Malaka.
Saat itu, masyarakat hidup dalam ketakutan karena banyak gadis desa Weoe mengalami kekerasan dari tentara penjajah.
Dalam situasi genting itu, seorang pemuda bernama Seran Berek Afau menciptakan gerakan tari lembut untuk menghibur dan menenangkan suasana hati para penjajah agar berhenti berbuat kekerasan.
Ia menari di bawah pohon asam di halaman rumah adat Uma La’ek Tua, menggoyangkan selendang putih di jari-jarinya dengan gerakan yang menenangkan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Pieter-Kembo3.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.