Breaking News

Opini

Opini: Pahlawan dan Percabangan Anamnetik

Kita juga perlu berpikir secara transversal dan komparatif tentang bagaimana impunitas para pelaku kejahatan dipelihara...

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.COM/RAHEL
PAHLAWAN NASIONAL - Marsini (kiri), kakak mendiang aktivis buruh Marsinah, menunjukkan foto adiknya usai menerima gelar pahlawan nasional dari Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (10/11/2025). 

Tanggung jawab sebagai daya selalu memberi kepada subjek, dalam hal ini para korban, kekuatan untuk melawan kesewenangan masa kini. 

Dengan menghapus jejak kejahatan, narasi kepahlawanan para pelaku akan terkonsentrasi pada kategori ‘mitos’ yang selalu berdampingan dengan intimitas antara kekuasaan dan penyingkiran. 

Di sini, para pelaku ditempatkan sebagai simbol bahkan saksi impunitas kejahatan. 

Sebagai simbol, ia menjadi bukti ketidakadilan epistemik (Miranda Fricker, 2007) dalam artinya yang paling brutal, bahwa para korban sekali lagi mengalami penghancuran dan pembunuhan secara epistemik.

Sampai di sini, kita perlu menyadari bahwa masa lampau yang mengisi setiap kenangan, menuntut kita untuk tidak memandang setiap peristiwa yang telah lalu sebagai sebuah museum imajiner, tetapi sebagai sesuatu yang memiliki relevansi bagi masyarakat, terutama bagi korban kekerasan negara. 

Kenangan yang baik membawa kita masuk dalam moment, saat yang berbeda, keluar dari arus waktu yang ada, yang membantu kita melihat dengan mata yang berbeda, dan pada gilirannya akan mendorong kita untuk berubah dan atau melakukan perubahan.

Dalam era teknologi dengan logika waktu pendeknya, menyandingkan pelaku kejahatan dan korban kejahatan ibarat proyek penghentian perkabungan sosial, serta menyumbat jalur menuju ingatan sosial terhadap para korban kekerasan negara. 

Maka, tampaknya, pemberian gelar pahlawan nasional kepada pelaku dan korban bersumber pada suatu impuls psikologis untuk menyingkirkan teka-teki kejahatan dari domain perdebatan sosial, membatalkan semua ingatan kolektif, sekaligus membuat kenangan akan korban kekerasan negara menjadi murni suatu kenangan individu. 

Namun, dengan kenangan multi-arah yang bersifat kolektif, kita memberi kepada para korban otoritas sebagai saksi atas pengalaman penderitaan mereka, otoritas bahwa yang disebut korban memiliki kisahnya sendiri, kisah yang tidak dikonstruksi oleh kekuasaan. 

Hanya pembangkang ketidakadilan, mereka yang berani melawan penindasanlah yang punya sentimen kontinuitas, yang ingin memelihara kenangan. Tujuannya adalah supaya para pelaku kejahatan berhenti dipuja sebagai pahlawan. (*)

Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved