Breaking News

Opini

Opini: Pahlawan dan Percabangan Anamnetik

Kita juga perlu berpikir secara transversal dan komparatif tentang bagaimana impunitas para pelaku kejahatan dipelihara...

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.COM/RAHEL
PAHLAWAN NASIONAL - Marsini (kiri), kakak mendiang aktivis buruh Marsinah, menunjukkan foto adiknya usai menerima gelar pahlawan nasional dari Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (10/11/2025). 

Dengan tandas Dussel menyatakan bahwa mereka yang mencoba untuk berpikir mengenai di mana dan bagaimana keberadaan mereka tanpa memulai dari titik krisis, tak akan mampu untuk berpikir dan berharap. 

Barangkali banyak dari kita yang menjalani keseluruhan hidup tanpa suatu krisis tertentu.

Namun, krisis adalah suatu sine qua non bagi penyelamatan, dan krisis yang lebih radikal dan tak kepalang tanggung merupakan jalan lebar menuju penyelamatan yang otentik.

Jalan penyelamatan yang saya maksudkan di sini adalah bahwa masyarakat intelektual perlu mengembangkan apa yang disebut sebagai percabangan kenangan, suatu metode kenangan multi-arah. 

Metode ini pertama-tama membahas dan terus membahasakan tradisi peringatan yang diidentifikasi oleh Benjamin, yakni para korban imperium kekerasan. 

Di sini titik pandang dan perspektif para korban tinggal tetap sebagai jalur krusial melaluinya kita mengakses kenangan yang bersifat multi-arah tersebut. 

Pada saat yang sama, masyarakat intelektual punya tugas mendesak lainnya, yakni memeriksa sifat multi-arah dari ingatan milik pelaku kejahatan. 

Maksudnya, kita juga perlu membongkar dan menyingkapkan kesadaran sejarah para pelaku. 

Kenangan akan kejahatan bukan hanya milik para pelaku. Jauh lebih dalam, kenangan semacam itu turut merawat tradisi dan politik kekerasan yang amat marak akhir-akhir ini.

Menyelamatkan Kenangan 

Dalam berpikir multi-arah mengenai kebangkitan politik populisme à la Jokowi, lalu Prabowo, kita perlu berpikir meluas dan mendalam. 

Di sini, kita perlu memberi perhatian pada narasi kepahlawanan nasional tertentu, yang coba diartikulasikan ulang dalam retorika kekuasaan populis dan nihilisme kontemporer. 

Kita juga perlu berpikir secara transversal dan komparatif tentang bagaimana impunitas para pelaku kejahatan dipelihara dan ditetapkan lintas generasi sebagai pahlawan. 

Bahkan kalau kita menelaah pernyataan Fadli Zon tentang terpenuhinya syarat gelar kepahlawanan bagi Soeharto, tampak jelas bagaimana ingatan multi-arah dapat dengan gampang dimanipulasi oleh kekuasaan dengan tujuan menutup jejak-jejak kejahatan yang ditorehkan para pelaku kejahatan.

Tampak di sini, mengenang dalam permainan logika kekuasaan bertujuan mengaburkan sejarah, menghapus jejak kejahatan, dan melepaskan tanggung jawab etis. 

Padahal, dalam artinya yang paling utama, mengenang selalu berarti memelihara tanggung jawab. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved