Opini

Opini: Pahlawan dan Percabangan Anamnetik

Kita juga perlu berpikir secara transversal dan komparatif tentang bagaimana impunitas para pelaku kejahatan dipelihara...

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.COM/RAHEL
PAHLAWAN NASIONAL - Marsini (kiri), kakak mendiang aktivis buruh Marsinah, menunjukkan foto adiknya usai menerima gelar pahlawan nasional dari Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (10/11/2025). 

Oleh: Sintus Runesi
Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Menyandingkan Soeharto dengan Marsinah sebagai pahlawan nasional seperti menegaskan credo nihilisme dalam arti yang paling negatif: kita hidup dalam era di mana garis batas antara kebenaran dan kepalsuan, kebaikan dan kejahatan, fakta dan fiksi, pahlawan dan penjahat, korban dan pelaku enyah tak berbekas. 

Dalam ungkapan yang berbeda, kita hidup dalam era pasca-kebenaran, era di mana kebenaran objektif tidak lagi eksis, di mana setiap klaim bisa diterima sebagai kebenaran. 

Apalagi, kalau klaim itu dinyatakan oleh kekuasaan. Yang satunya mantan penguasa yang diketahui berada dibalik berbagai bentuk kejahatan HAM, dan yang lainnya adalah buruh yang dibunuh dengan kejam pada masa di mana gerakan orang-orang kecil-marjinal untuk menuntut keadilan adalah dosa besar di mata sang mantan.

Baca juga: Bupati Sumba Timur Beri Pesan Perjuangan di Hari Pahlawan

Saat menelisik asal-usul totalitarianisme Eropa, Hannah Arendt (1976) menemukan bahwa subjek ideal yang menopang sistem totalitarianisme bukanlah seorang yang secara publik menegaskan dirinya sebagai anggota NAZI atau Komunisme. 

Subjek tersebut adalah mereka yang tidak mampu membedakan antara fakta dan fiksi, antara kebenaran dan kepalsuan. 

Simulakra politik memanipulasi pengalaman-pengalaman bersama yang mengaburkan perbedaan antara fakta dan fiksi, juga menghilangkan ukuran-ukuran berpikir yang membantu dalam membedakan kebenaran dari kepalsuan. 

Ini berarti dalam perspektif implikatur bahasa Arendtian, untuk mengetahui apakah seorang pemimpin itu berpotensi menjadi totaliter-otoritarian atau tidak pada era di mana kekerasan lebih bersifat kontemplatif, yang perlu dilakukan adalah mendalami keputusan-keputusan politisnya.

Pembunuhan Kenangan

Keputusan pemerintah untuk menjadikan dua orang yang berbeda latar belakang tanggung jawab sejarahnya, menjadi alarm penting bahwa kita sedang hidup dalam era yang disebut oleh Walter Benjamin (1974) sebagai ‘momen berbahaya’. 

Maka, artikulasi kenangan tidak berarti bahwa kita menerima dan mengakui masa lalu sebagaimana ditulis oleh kekuasaan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan serta ukuran kebenaran dan moralitas, tetapi bahwa kita perlu menggenggam erat kenangan yang muncul tiba-tiba di saat berbahaya. 

Benjamin misalnya, ketika menulis sejarah dari tengah-tengah ‘neraka fasisme’ dengan apinya sebagai penerang, mencoba mengembangkan metode historis yang menjadikan pengalaman dan tradisi kaum tertindas sebagai titik tolak. 

Tujuannya adalah menebar percikan harapan di masa depan bagi para korban yang masa lalunya selalu berada di ambang penghancuran-penghapusan oleh mereka yang disebut oleh Pierre Vidal-Naquet (1993) sebagai para pembunuh kenangan.

Momen berbahaya kita saat ini adalah penghapusan kenangan para korban. Kenangan akan korban dan jejak hitam para pelaku ingin dihapuskan. 

Tujuannya membelokkan kenangan dan sejarah, dan melepaskan pelaku dari beban tanggung jawab sejarah. Namun, hemat saya, krisis ini justru memercikkan harapan. 

Enrique Dussel (1978) menulis bahwa krisis adalah tempat di mana harapan yang lebih baik dinyalakan. 

Dengan tandas Dussel menyatakan bahwa mereka yang mencoba untuk berpikir mengenai di mana dan bagaimana keberadaan mereka tanpa memulai dari titik krisis, tak akan mampu untuk berpikir dan berharap. 

Barangkali banyak dari kita yang menjalani keseluruhan hidup tanpa suatu krisis tertentu.

Namun, krisis adalah suatu sine qua non bagi penyelamatan, dan krisis yang lebih radikal dan tak kepalang tanggung merupakan jalan lebar menuju penyelamatan yang otentik.

Jalan penyelamatan yang saya maksudkan di sini adalah bahwa masyarakat intelektual perlu mengembangkan apa yang disebut sebagai percabangan kenangan, suatu metode kenangan multi-arah. 

Metode ini pertama-tama membahas dan terus membahasakan tradisi peringatan yang diidentifikasi oleh Benjamin, yakni para korban imperium kekerasan. 

Di sini titik pandang dan perspektif para korban tinggal tetap sebagai jalur krusial melaluinya kita mengakses kenangan yang bersifat multi-arah tersebut. 

Pada saat yang sama, masyarakat intelektual punya tugas mendesak lainnya, yakni memeriksa sifat multi-arah dari ingatan milik pelaku kejahatan. 

Maksudnya, kita juga perlu membongkar dan menyingkapkan kesadaran sejarah para pelaku. 

Kenangan akan kejahatan bukan hanya milik para pelaku. Jauh lebih dalam, kenangan semacam itu turut merawat tradisi dan politik kekerasan yang amat marak akhir-akhir ini.

Menyelamatkan Kenangan 

Dalam berpikir multi-arah mengenai kebangkitan politik populisme à la Jokowi, lalu Prabowo, kita perlu berpikir meluas dan mendalam. 

Di sini, kita perlu memberi perhatian pada narasi kepahlawanan nasional tertentu, yang coba diartikulasikan ulang dalam retorika kekuasaan populis dan nihilisme kontemporer. 

Kita juga perlu berpikir secara transversal dan komparatif tentang bagaimana impunitas para pelaku kejahatan dipelihara dan ditetapkan lintas generasi sebagai pahlawan. 

Bahkan kalau kita menelaah pernyataan Fadli Zon tentang terpenuhinya syarat gelar kepahlawanan bagi Soeharto, tampak jelas bagaimana ingatan multi-arah dapat dengan gampang dimanipulasi oleh kekuasaan dengan tujuan menutup jejak-jejak kejahatan yang ditorehkan para pelaku kejahatan.

Tampak di sini, mengenang dalam permainan logika kekuasaan bertujuan mengaburkan sejarah, menghapus jejak kejahatan, dan melepaskan tanggung jawab etis. 

Padahal, dalam artinya yang paling utama, mengenang selalu berarti memelihara tanggung jawab. 

Tanggung jawab sebagai daya selalu memberi kepada subjek, dalam hal ini para korban, kekuatan untuk melawan kesewenangan masa kini. 

Dengan menghapus jejak kejahatan, narasi kepahlawanan para pelaku akan terkonsentrasi pada kategori ‘mitos’ yang selalu berdampingan dengan intimitas antara kekuasaan dan penyingkiran. 

Di sini, para pelaku ditempatkan sebagai simbol bahkan saksi impunitas kejahatan. 

Sebagai simbol, ia menjadi bukti ketidakadilan epistemik (Miranda Fricker, 2007) dalam artinya yang paling brutal, bahwa para korban sekali lagi mengalami penghancuran dan pembunuhan secara epistemik.

Sampai di sini, kita perlu menyadari bahwa masa lampau yang mengisi setiap kenangan, menuntut kita untuk tidak memandang setiap peristiwa yang telah lalu sebagai sebuah museum imajiner, tetapi sebagai sesuatu yang memiliki relevansi bagi masyarakat, terutama bagi korban kekerasan negara. 

Kenangan yang baik membawa kita masuk dalam moment, saat yang berbeda, keluar dari arus waktu yang ada, yang membantu kita melihat dengan mata yang berbeda, dan pada gilirannya akan mendorong kita untuk berubah dan atau melakukan perubahan.

Dalam era teknologi dengan logika waktu pendeknya, menyandingkan pelaku kejahatan dan korban kejahatan ibarat proyek penghentian perkabungan sosial, serta menyumbat jalur menuju ingatan sosial terhadap para korban kekerasan negara. 

Maka, tampaknya, pemberian gelar pahlawan nasional kepada pelaku dan korban bersumber pada suatu impuls psikologis untuk menyingkirkan teka-teki kejahatan dari domain perdebatan sosial, membatalkan semua ingatan kolektif, sekaligus membuat kenangan akan korban kekerasan negara menjadi murni suatu kenangan individu. 

Namun, dengan kenangan multi-arah yang bersifat kolektif, kita memberi kepada para korban otoritas sebagai saksi atas pengalaman penderitaan mereka, otoritas bahwa yang disebut korban memiliki kisahnya sendiri, kisah yang tidak dikonstruksi oleh kekuasaan. 

Hanya pembangkang ketidakadilan, mereka yang berani melawan penindasanlah yang punya sentimen kontinuitas, yang ingin memelihara kenangan. Tujuannya adalah supaya para pelaku kejahatan berhenti dipuja sebagai pahlawan. (*)

Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved