Opini

Opini: Dari Sampar, Covid-19 hingga Rabies di Nusa Tenggara Timur

Penanganan zoonosis rabies di NTT harus mendapatkan perhatian serius dari seluruh stake holder yang terkait.  

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ASRUL
Asrul 

Oleh: Asrul
Mahasiswa S3 Biologi UGM, Dosen Politeknik Pertanian Negeri Kupang

POS-KUPANG.COM - Berkaca pada pandemi covid-19 yang memakan korban jutaan jiwa, maka kesadaran masyarakat atas penularan penyakit dari hewan ke manusia merupakan hal yang perlu ditingkatkan.

Sebagai pengingat bahwa covid-19 diakibatkan oleh penularan virus SARS-CoV-2 dari hewan ( kelelawar) yang menjangkiti manusia. 

Istilah dalam dunia medis terkait penularan sebuah penyakit ke manusia dengan perantara hewan disebut zoonosis.  

Baca juga: Opini: Ketika Kabupaten Manggarai Belum Benar-benar Siap Melawan Rabies

Penyakit zoonosis dapat menginfeksi manusia jika sebelumnya ada interaksi antara  manusia dan hewan carier zoonosis. Baik berupa gigitan, cakaran, mengkomsumi produk hewani (daging atau susu) ataupun cuma percikan air liur atau darah dari hewan perantara.  

Agen pathogen penyakit zoonosis ini dapat berupa virus, bakteri atau jamur. 

Ditemukan ada sekitar 200 jenis penyakit zoonosis yang sudah teridentifikasi sampai saat ini, namun penyakit zoonosis yang lebih familiar diketahui di Indonesia yaitu sampar, covid-19, rabies dan antraks . 

Secara global, sejarah mencatat bawah penyakit zoonosis yang paling mematikan di muka bumi bukanlah covid-19. 

Zoonosis covid-19 hanya memakan korban 7 juta jiwa namun penyakit zoonosis pes ( sampar) memakan korban jiwa mencapai 200 juta pada tahun 1347–1351. 

Di Indonesia penyakit sampar juga memegang rekor pada jumlah korban jiwa yang paling banyak. 

Pasca covid-19, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) penyakit zoonosis yang terindikasi mengalami kenaikan tingkat penularan yaitu rabies.  

Menurut Kale, M.L.F.P, dkk  (2025) pada artikel literatur review  berjudul “Applying the One Health Approach to Rabies Control in the Timor Archipelago, East Nusa Tenggara”,  pada rentang waktu 2023-2024 ada 80 kasus kematian akibat rabies dengan tingkat gigitan hewan penular rabies mencapai 50.000 kasus di NTT. 

Hal ini tentu  harus mendapatkan perhatian serius agar tidak mewabah lebih luas dan menyebabkan kafatalan serius dalam jumlah korban jiwa di NTT. 

Apa itu rabies?

Di depan telah dijelaskan bahwa rabies termasuk penyakit zoonosis. Umumnya rabies dikenal sebagai penyakit anjing gila.

Setiap anjing yang berperilaku aneh dan tidak seperti biasanya, spontan masyarakat akan menjustifikasinya sebagai anjing rabies

Agen pathogen pada rabies adalah virus dari family Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. 

Bukan hanya anjing yang bisa menjadi hewan perantara dari penyakit rabies. Bisa juga hewan lainnya seperti kucing, monyet, musang, kelelawar. 

Infeksi rabies pada tubuh manusia sangat mematikan dengan  tingkat kematian ( fatality rate)  bisa mendekati 100 persen. 

Virus rabies yang masuk ke dalam tubuh manusia langsung menyerang susunan saraf pusat (SSP) yang meliputi otak dan sumsum tulang belakang. 

Jika virus rabies telah menyerang SSP maka korban akan mengalami kejang otot yang sangat menyakitkan di otot faring dan disertai dengan katakutan pada air (hidrofobia), udara (aerofobia) serta berturut turut akan menjadi sangat gelisah. 

Jika semua ciri ciri tersebut sudah terlihat pada korban maka kemungkinan kecil untuk bisa selamatkan.

Sampai saat ini belum ditemukan obat atau teknologi yang bisa menyelamatkan korban jika virus rabies telah melululantahkan SPP korban.

Mitigasi Penularan Rabies 

Cara terbaik menurunkan rasio penularan penyakit rabies yaitu mengubah fokus penanganan  penularan rabies, dari pananganan kritis (perawatan) menuju pencegahan yang bersifat holistik. 

Pencegahan holistik memakai prinsip pelibatan seluruh komponen, baik itu lingkungan, hewan, manusia sampai pada tingkat regulator (pemerintah) dalam meminimalisir penularan rabies

Di sektor lingkungan hal yang bisa  dilakukan untuk pengendalian populasi hewan penular rabies (HPR) yaitu mengurangi sampah sisa makanan secara terbuka yang bisa mengundang hewan penular rabies

Vaksinasi massal kepada hewan penular rabies khususnya anjing dan kucing merupakan kunci utama mitagasi di sektor hewan. 

Vaksinasi massal ini akan menciptakan kekebalan kawanan di tingkat hewan penular rabies, dan jika sudah terjadi kekebalan kawanan maka risiko penularan kepada manusia bisa diperkecil. 

Tahap mitigasi terakhir pada sektor hewan yaitu mengeliminasi hewan yang sudah ducurigai  positif sebagai hewan penular rabies

Mitigasi sektor manusia dan regulator merupakan dua sisi yang harus jalan berbarengan. 

Regularor memberikan edukasi kepada masyarakat, kemudian masyarakat mengikuti arahan regulator termasuk di dalamnya yaitu turut serta dalam vaksinasi pra-paparan khususnya daerah yang populasi hewan penular rabies yang cukup tinggi. 

Penanganan zoonosis rabies di NTT harus mendapatkan perhatian serius dari seluruh stake holder yang terkait.  

Pemerintah, akademisi dan masyarakat harus padu dalam satu sudut pandang dan tindakan, dengan prinsip pencegahan lebih baik daripada perawatan. 

Pemerintah sebagai regulator harus memberikan standar operasional pelaksanaan (SOP) yang jelas terkait pencegahan rabies di tengah tengah masyarakat. 

Akademisi harus turut andil dalam mengambangkan metode yang lebih praktis dan efisien dalam pencegahan rabies

Terakhir masyarakat yang bersentuhan langsung dengan hewan penular rabies harus tunduk dan patuh setiap regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah demi kebaikan bersama. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved