Opini

Opini: Pendidikan di Bawah Awan Panas

Ketika suhu di Kupang menembus 36 derajat Celsius, kita tidak bisa mengharapkan anak-anak kita belajar secara optimal.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI DODY KUDJI LEDE
Dody Kudji Lede 

Refleksi Perubahan Iklim Terhadap Prestasi Belajar Anak di Daratan Timor

Oleh: Dody Kudji Lede
Pemerhati Sosial

POS-KUPANG.COM - Kita cenderung memandang perubahan iklim sebagai ancaman lingkungan yang abstrak—naiknya permukaan air laut di tempat yang jauh atau mencairnya gletser di kutub. 

Namun, di beranda kita sendiri, di Pulau Timor, krisis ini telah menjelma menjadi kenyataan pahit yang hadir setiap hari. 

Kita merasakannya dalam intensitas terik matahari yang kian menyengat, pola hujan yang kian tak menentu, dan musim kering yang mencekik. 

Di tengah diskursus global tentang karbon dan konferensi tingkat tinggi, kita sering kali alpa terhadap korban yang paling rentan dan paling fundamental adalah potensi kognitif dan prestasi akademik anak-anak kita.

Baca juga: Opini: Manusia, Makhluk yang Tak Pernah Selesai Berbahasa

Daratan Timor, dengan karakteristik iklim semiarid yang unik, kini berada di garis depan pertempuran ini. 

Kelembaban tinggi yang bertemu dengan suhu ekstrem menciptakan kondisi "stres panas" (heat stress) yang kronis. 

Ini bukan lagi sekadar "cuaca panas biasa". Di wilayah pesisir, dampaknya teramplifikasi. 

Petani garam berjuang dengan penguapan yang tak terkendali, nelayan menghadapi badai yang kian ganas, dan sumber air bersih kian menipis akibat intrusi air laut yang didorong oleh abrasi.

Riset Analysis of Air Temperature Changes in East Nusa Tenggara Province (1971–2020) menunjukkan bahwa rata-rata suhu di Provinsi Nusa Tenggara Timur meningkat sekitar 0,04°C per tahun, atau hampir 1°C lebih panas dibanding tiga dekade sebelumnya. 

Sedangkan dalam dua bulan terakhir (September–Oktober 2025), data dari Weather Atlas dan Time and Date mencatat rata-rata suhu siang hari di Kota Kupang mencapai 30–33°C, bahkan di beberapa hari ekstrem menembus 34°C. 

Sementara suhu malam hari bertahan di kisaran 24–26°C dengan kelembaban sekitar 69 persen. 

Kenaikan ini terasa nyata di Pulau Timor yang dikenal kering dan minim tutupan vegetasi. 

Kondisi inilah yang menyebabkan malam hari tidak lagi sejuk—tubuh tidak sempat beristirahat dari paparan panas, dan ruang kelas di pagi hari pun terasa pengap sebelum jam pelajaran dimulai.

Suhu Panas dan Proses Belajar

Pertanyaannya, apa hubungan antara anomali cuaca dengan kemampuan seorang siswa sekolah dasar di sana untuk memahami pelajaran? Jawabannya: sangat erat.

Riset ilmiah telah memberikan bukti yang tak terbantahkan. Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Harvard University (Park et al., 2020) menemukan bahwa fungsi kognitif siswa menurun secara signifikan pada hari-hari yang lebih panas. 

Paparan suhu tinggi yang berkepanjangan di ruang kelas—terutama di bangunan sekolah di Kupang yang sering kali minim ventilasi—secara langsung menurunkan kemampuan siswa untuk fokus, memproses informasi, dan menyimpan memori. 

Ketika suhu di Kupang menembus 36 derajat Celsius, kita tidak bisa mengharapkan anak-anak kita belajar secara optimal. 

Mereka mungkin hadir secara fisik, tetapi kapasitas mental mereka tergerus oleh dehidrasi dan kelelahan termal.

Laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC, 2023) juga kembali menegaskan bahwa peningkatan suhu global dan perubahan pola curah hujan berdampak langsung pada kesehatan dan produktivitas manusia, termasuk kemampuan kognitif anak-anak. 

Dalam konteks pendidikan dasar, perubahan iklim bukan lagi isu lingkungan semata, tetapi juga isu pendidikan dan masa depan generasi.

Lebih jauh, perubahan iklim juga memukul fondasi gizi. Kekeringan yang berkepanjangan, telah menjadi ciri khas baru iklim Timor, menyebabkan gagal panen jagung dan komoditas pangan lokal lainnya. 

Bagi keluarga di pedalaman Timor, ini berarti meningkatnya kerawanan pangan. 

Laporan dari UNICEF dan Bank Dunia secara konsisten menghubungkan malnutrisi dan stunting—yang angkanya masih mengkhawatirkan di NTT—dengan penurunan kinerja akademik dan perkembangan otak yang tidak optimal. 

Stres panas di luar dan kekurangan gizi di dalam menciptakan siklus setan yang mengunci potensi generasi masa depan kita.

Sebagai contoh, di Kupang Barat dan Pulau Semau, situasinya kian  kompleks. 

Kondisi geografis yang kering, minim tutupan vegetasi, serta ketergantungan pada sumber air tanah dangkal menjadikan wilayah ini sangat rentan terhadap fluktuasi cuaca ekstrem

Saat musim kemarau memanjang, air sulit didapat; sementara pada musim hujan, banjir rob dan genangan merusak akses jalan menuju sekolah. 

Kombinasi ini mengganggu kehadiran siswa, konsentrasi belajar, dan bahkan gizi anak-anak yang bergantung pada hasil pertanian lokal.

Ini jelas menunjukkan bahwa perubahan iklim tidak hanya menimbulkan gangguan sesaat. 

Sebab dalam jangka panjang, ia mengancam kapasitas belajar kolektif generasi muda Timor. 

Data UNICEF (2022) menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh di wilayah rawan iklim berpotensi mengalami learning loss hingga 20 persen lebih besar dibanding anak-anak di daerah beriklim stabil.

Jika kita gagal mengintervensi, proyeksi ke depan sangat suram. Kita tidak hanya akan kehilangan produktivitas pertanian, tetapi kita sedang mempertaruhkan hilangnya satu generasi SDM unggul. Kesenjangan sosial akan kian menganga. 

Anak-anak dari keluarga rentan di pesisir, yang paling terdampak oleh cuaca ekstrem (banjir rob, badai) dan kekeringan, akan menjadi yang paling tertinggal dalam pendidikan. 

Jika dibiarkan, ini bukan hanya menjadi krisis pendidikan, melainkan juga krisis pembangunan manusia di masa depan. 

Paradigma dan Solusi 

Melihat semua kenyaatan ini, harus ada perubahan paradigma secara fundamental sehingga dapat menghadirkan solusi yang tidak lagi bersifat parsial atau sektoral.

Sekolah Dasar dapat menjadi garda terdepan membangun ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim. 

Edukasi lingkungan bukan sekadar kegiatan tambahan, melainkan harus menjadi bagian dari kurikulum kontekstual yang menumbuhkan kesadaran dan kemampuan adaptasi sejak dini. 

Kita juga memerlukan intervensi adaptasi yang mendesak di pusat-pusat pembelajaran. Konsep "Sekolah Tangguh Iklim" harus segera diimplementasikan. 

Ini bukan tentang teknologi canggih, melainkan intervensi sederhana namun vital: memastikan setiap sekolah memiliki akses air minum bersih yang memadai, memperbaiki ventilasi ruang kelas, dan program penghijauan masif di halaman sekolah untuk menciptakan zona mikro yang lebih sejuk.

Untuk jangka panjang, solusinya terletak pada kolaborasi sistemik. Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kupang dan Kota Kupang tidak bisa berjalan sendiri tetapi harus menjadi fasilitator yang merangkul sektor privat (swasta) dan organisasi non-pemerintah (NGO). 

Sektor swasta, melalui program CSR mereka, dapat berinvestasi dalam infrastruktur sekolah yang lebih "hijau" atau eco-school— sekolah yang ramah iklim dan berbasis mitigasi bencana lokal melalui edukasi perubahan iklim.

Program kemitraan untuk pendidikan iklim yang melibatkan pemerintah daerah, perusahaan lokal, UMKM, dan NGO, bisa menjadi model kolaborasi yang efektif. 

Tujuannya tidak hanya memberikan materi ajar, tetapi juga menciptakan ruang belajar yang aman dan adaptif bagi anak-anak di tengah cuaca yang semakin tak menentu.

Namun, sekali lagi edukasi ini tidak boleh lagi menjadi materi sisipan yang membosankan di pelajaran IPA, tetapi harus menjadi inti dari kurikulum muatan lokal karena ini adalah realitas lokal yang tak dapat dipungkiri. 

Anak-anak sekolah dasar di Pulau Semau misalnya, harus memahami bagaimana panas ekstrem memengaruhi panen jagung keluarga mereka, bagaimana kekeringan menurunkan kualitas air sumur, mengapa pesisir mereka terkikis, dan bagaimana menghemat air, menjaga kebersihan lingkungan dan menanam bakau ternyata dapat melindungi desa mereka. 

Mereka juga harus diajarkan perilaku adaptif, mulai dari mengelola sampah, dan kesiapsiagaan bencana sebagai keterampilan hidup (life skill).

Di sinilah peran vital NGO dan masyarakat sipil, yakni menjembatani kebijakan dengan implementasi di tingkat akar rumput, sekaligus menjadi motor penggerak edukasi.

Upaya edukasi ini harus melampaui dinding sekolah. Kita harus memanfaatkan semua kanal. 

Pemerintah dan NGO dapat berkolaborasi menciptakan konten kreatif di media sosial—TikTok, Facebook, Instagram—yang menyasar orang tua dan masyarakat umum, menggunakan bahasa lokal dan konteks yang relevan untuk menjelaskan risiko iklim dan solusi praktis di rumah.

Menatap Masa Depan yang Tangguh

Daratan Timor sedang menghadapi masa depan yang lebih panas dan kering. 

Namun, di balik tantangan itu, ada peluang untuk menyiapkan generasi yang tangguh dan berdaya. 

Jika kita mampu menjadikan sekolah dasar sebagai pusat edukasi dan aksi iklim, maka anak-anak hari ini tidak hanya menjadi korban perubahan iklim—tetapi juga pelaku perubahan menuju masa depan yang berkelanjutan. 

Ini bukan sekadar menyelamatkan lingkungan; ini adalah tentang menyelamatkan masa depan sumber daya manusia kita. Ini adalah investasi paling fundamental yang bisa kita lakukan. 

Perubahan iklim mungkin tak bisa kita hentikan sepenuhnya, tetapi kemampuan kita beradaptasi dan mendidik anak-anak untuk hidup selaras dengan alam adalah bentuk perlawanan paling bermartabat. 

Timor yang kering bisa menjadi Timor yang tangguh, asal kita mulai dari ruang kelas, dari anak-anak, dari sekarang. 

Kegagalan bertindak hari ini berarti kita secara sadar mengorbankan kapasitas intelektual generasi penerus di tanah Flobamora. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 


 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved