Opini
Opini: Kearifan Lokal Menuju Demokrasi Berkeadaban
Ia mengingatkan kita bahwa administrasi publik harus melampaui logika netralitas, menuju etika keberpihakan pada kemanusiaan.
Pada tataran teori, pandangan seperti ini sejalan dengan pemikiran H. George Frederickson tentang social equity, bahwa keadilan sosial tidak hanya diukur dari hasil, tetapi juga dari bagaimana warga diperlakukan.
Ia mengingatkan kita bahwa administrasi publik harus melampaui logika netralitas, menuju etika keberpihakan pada kemanusiaan.
Sementara Gerald E. Caiden menegaskan bahwa reformasi pemerintahan sejati adalah humanizing governance yang menjadikan kekuasaan sarana memuliakan manusia, bukan mempersulit hidupnya.
Pesan-pesan ini bertemu dalam ruang budaya Indonesia: bahwa tata kelola publik sejati harus menyentuh rasa sebelum mengatur prosedur.
Dari perspektif itu, demokrasi Indonesia menemukan bentuk idealnya bukan hanya di ruang sidang parlemen, tetapi di balai adat; bukan hanya di regulasi tertulis, tetapi dalam musyawarah keluarga besar; bukan hanya di sistem informasi pemilu, tetapi dalam nilai gotong royong.
Demokrasi yang terlalu teknokratis akan kehilangan kepekaan. Demokrasi yang hanya menghitung suara tanpa mendengar suara batin rakyat akan menjadi demokrasi yang lelah.
Di sinilah pelajaran penting IAPA tahun ini, teknologi harus bersujud pada nilai. Inovasi harus berjalan bersama belas kasih.
Bongkahan data pemilih tidak pernah mampu menggantikan tatap mata warga di kampung, perangkat lunak tidak akan pernah mengalahkan kebijaksanaan seorang tetua adat yang paham kapan harus bicara dan kapan harus diam.
Demokrasi adalah jembatan antara negara dan budaya. Demokrasi membutuhkan struktur, namun tidak kehilangan jiwa.
Ia memerlukan sistem, tetapi tetap dipandu nilai. Ketika negara hadir di ruang adat, ia harus mengulurkan tangan, bukan membawa jarak.
Ketika budaya bertemu modernitas, keduanya harus saling menyapa, bukan saling menggusur.
Inilah jalan menuju demokrasi berkeadaban, demokrasi yang tumbuh dari kebiasaan, dari percakapan, dari rasa percaya.
Demokrasi yang tidak hanya mematuhi konstitusi, tetapi juga menghormati kearifan nenek moyang.
Di akhir forum, terasa jelas bahwa konferensi ini bukan sekadar pertemuan, akan tetapi menjadi panggilan agar administrasi publik Indonesia berjalan di jalan tengah yang bijak.
Sehingga dapat membangun digital government tanpa meninggalkan rumah budaya kita, agar negara hadir bukan sebagai mesin, tetapi sebagai sahabat hidup dan penjaga martabat manusia.
Dari Kupang, dari ruang akademik Undana, dari perjalanan pemikiran yang menyentuh tanah dan langit sekaligus, sebuah kesadaran lahir bahwa demokrasi Indonesia harus dibangun bukan hanya dengan undang-undang, tetapi dengan kearifan; bukan hanya dengan sistem, tetapi dengan jiwa; bukan hanya dengan suara, tetapi dengan kesadaran.
Negara hanya akan kuat bila ia tidak melupakan rumah budaya tempat ia berasal.
Demokrasi hanya akan subur bila ia dipelihara oleh rasa saling percaya, kejujuran, dan kesediaan untuk mendengar.
Dalam tradisi Adonara, tanda di dahi adalah pengakuan. Dalam negara modern, tinta di jari adalah pengakuan.
Dalam kehidupan bersama, pengakuan manusia atas manusia lain adalah pijakan tertinggi dari peradaban.
Dengan demikian, tugas kita adalah menjaga agar negara tidak hanya menghitung suara, tetapi juga menghitung martabat, agar pemilu tidak hanya memilih pemimpin, tetapi meneguhkan kesadaran kolektif bahwa kita adalah satu bangsa yang berjalan bersama di jalan yang sama.
Administrasi publik yang berkeadaban adalah administrasi yang memahami manusia bukan sebagai data, tetapi sebagai jiwa.
Dan demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang kembali ke rumah awalnya, rumah di mana budaya, nilai, dan kemanusiaan tumbuh bersama. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Baharudin Hamzah
kearifan lokal
Demokrasi
FISIP Undana Kupang
Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM
Universitas Nusa Cendana
| Opini: Menjaga Demokrasi Kampus dari Politik Zero-Sum Game |
|
|---|
| Opini: Saat Komunikasi Publik Menjadi Kunci Layanan Kesehatan Daerah |
|
|---|
| Opini: Suara Moral Indonesia di Tengah Standar Ganda IOC |
|
|---|
| Opini: Neka Hemong Kuni agu Kalo- Salinan Kerinduan dalam Mimbar Filosofis |
|
|---|
| Opini: Dari Cogito Ergo Sum ke Aku Klik Maka Aku Ada |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Hamzah-Baharudin.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.