Opini

Opini: Kearifan Lokal Menuju Demokrasi Berkeadaban

Ia mengingatkan kita bahwa administrasi publik harus melampaui logika netralitas, menuju etika keberpihakan pada kemanusiaan. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Baharudin Hamzah 

Ketika tanda itu diletakkan di dahi seseorang, masyarakat berkata “engkau bukan sekadar dihitung, tapi diterima; engkau bukan hanya dilihat, tetapi diakui”.

Betapa menarik bahwa negara modern kemudian mengenal praktik serupa dalam pemilu, tinta di jari setelah mencoblos adalah penanda kehadiran sekaligus pengakuan kewargaan. 

Dua dunia, adat dan negara, bertemu dalam simbol yang sama bahwa manusia harus diakui keberadaannya sebelum diminta berpartisipasi. 

Dengan kata lain, demokrasi modern menemukan gemanya dalam kearifan tradisional. 

Demokrasi bukan hanya prosedur, tetapi pengakuan hakiki atas martabat setiap manusia.

Sayangnya, dalam praktik empiris, demokrasi kita kerap terjebak dalam ruang formal seperti daftar pemilih, logistik, bilik suara, rekapitulasi, dan mekanisme teknis yang detil. 

Semua itu penting, tetapi demokrasi kehilangan daya geraknya ketika hanya menjadi ritual administratif. 

Demokrasi yang sehat mensyaratkan lebih dari kesempurnaan prosedur. Indonesia sering dipuji sebagai demokrasi besar. Tetapi demokrasi yang besar belum tentu demokrasi yang berjiwa. 

Di banyak daerah, pemilu terasa seperti “acara negara” yang ditentukan dari atas, dilaksanakan dengan disiplin teknokratis, tetapi kurang menyapa ruang batin masyarakat. 

Padahal, demokrasi sejati tumbuh di tanah yang hidup dengan nilai, bukan hanya di meja yang penuh formulir.

Di NTT, kita masih menjumpai praktik sosial menarik menjelang pemungutan suara. 

Tokoh adat dan warga memanggil kembali mereka yang merantau agar pulang memilih di kampung halaman. 

Bagi mereka, pemimpin yang layak dipilih adalah mereka yang lahir dari tanah yang sama, merasakan denyut kehidupan masyarakatnya. 

Ini bukan bentuk eksklusivitas; ini kesaksian tentang pentingnya kedekatan moral pemimpin dengan rakyatnya. 

Demokrasi bagi mereka bukan angka dalam kotak, tetapi relasi batin: kepemimpinan yang tumbuh dari tanah dan kembali mengabdi pada tanah.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved