Opini
Opini: Saat Komunikasi Publik Menjadi Kunci Layanan Kesehatan Daerah
Ketika rumah sakit tidak memiliki kanal komunikasi yang aktif dan transparan, warga kehilangan akses terhadap penjelasan yang sahih.
Selain itu masih ada sekitar 34 persen rumah sakit umum daerah yang belum memiliki dokter spesialis (Kompas, 24 April 2024).
Hal ini diperparah dengan sebaran jumlah dokter yang masih sangat timpang. Untuk daerah luar Jawa khususnya, distribusi jauh lebih timpang.
Namun, selain persoalan kuantitas dan distribusi, ada aspek komunikasi publik yang sering luput: bagaimana lembaga kesehatan dan pemerintah menjelaskan kondisi, bagaimana masyarakat memahami realitasnya, dan bagaimana ruang digital dikelola agar tidak memperuncing konflik sosial.
Ruang Digital Sebagai Arena Kekerasan Simbolik
Ketika komentar seperti:
“Penipu semua mereka”
“Tolong ganti saja direkturnya” muncul di linimasa warga Sikka, kita melihat fenomena serius.
Kata tanpa kontak fisik yang melukai moral tenaga medis keluar dari ketikan warga net dengan liarnya.
Inilah yang disebut oleh sosiolog Pierre Bourdieu sebagai kekerasan simbolik: dominasi yang dilakukan lewat bahasa dan simbol, sehingga pihak yang menjadi sasaran merasa tertekan bahkan terbelenggu.
Ruang digital seharusnya menjadi sarana dialog dan klarifikasi publik, namun saat lembaga kesehatan tidak aktif menjelaskan kondisi, maka ruang tersebut diisi oleh “rumor, prasangka, dan sinisme”.
Dalam situasi seperti Sikka, tenaga medis yang sangat dibutuhkan, malah menjadi korban keraguan dan serangan verbal, bukan dukungan.
Komunikasi Publik: Titik Lemah Lembaga Kesehatan
Mengapa situasi di RSUD Hillers meruncing? Krisis di RSUD dr. T.C. Hillers tidak hanya persoalan kekurangan tenaga medis, tetapi juga lemahnya strategi komunikasi publik kesehatan.
Dalam konteks tata kelola lembaga publik, transparansi dan komunikasi efektif merupakan fondasi utama untuk menjaga kepercayaan publik.
Ketika informasi tidak tersampaikan dengan baik, ruang digital akan dipenuhi oleh noise berupa spekulasi, keluhan, bahkan cyberbullying terhadap tenaga kesehatan.
Banyak penelitian dan laporan menunjukkan bahwa salah satu faktor utama menurunnya kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan adalah kurangnya komunikasi yang terbuka dan aktif dari institusi.
Sebuah studi berjudul “Improving the Quality of Public Services to Build Public Trust in Service Providers of the Health Sector” (2024) menegaskan bahwa kualitas layanan yang kurang baik, disertai lemahnya komunikasi dan akuntabilitas lembaga, berkontribusi langsung terhadap menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyedia layanan kesehatan.
| Opini: Neka Hemong Kuni agu Kalo- Salinan Kerinduan dalam Mimbar Filosofis |
|
|---|
| Opini: Dari Cogito Ergo Sum ke Aku Klik Maka Aku Ada |
|
|---|
| Opini: Satu Data untuk Kemajuan Nusa Tenggara Timur |
|
|---|
| Opini: Pergeseran Makna Manusia sebagai Makhluk Politik, Dari Polis ke Platform |
|
|---|
| Opini: Manusia, Makhluk yang Tak Pernah Selesai Berbahasa |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Rini-Kartini.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.