Opini

Opini: Penjarahan yang Dilegalkan dan Tantangan bagi Indonesia

Salah satu trik paling licik dari sistem ini adalah bagaimana penjarahan dilegitimasi melalui kesepakatan internasional dan program “bantuan”. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI PASKALIS SEMAUN
Paskalis Semaun 

Oleh: Paskalis Semaun
Misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) asal Manggarai, Flores, NTT, yang berkarya di Paraguay, Amerika Selatan

POS-KUPANG.COM - Dalam wacana pembangunan modern, kata investasi terdengar mulia. Ia diasosiasikan dengan kemajuan, lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. 

Pemerintah sering membanggakan keberhasilan menarik investasi asing sebagai bukti pencapaian pembangunan nasional. 

Namun di balik istilah yang terdengar positif itu, sering tersembunyi realitas lain: eksploitasi sumber daya alam yang merusak, ketimpangan sosial yang melebar, dan hilangnya kedaulatan masyarakat lokal atas tanah dan lingkungan mereka sendiri.

Di sinilah terjadi apa yang dapat disebut “eufemisme investasi”,  ketika praktik penjarahan ekonomi dan ekologis dibungkus dengan bahasa pembangunan. 

Baca juga: Jumlah Galeri Investasi di NTT Bertambah Jadi 21

Proyek tambang, perkebunan besar, dan pembangunan infrastruktur kerap disajikan sebagai tanda kemajuan, padahal di banyak tempat justru menghadirkan kerusakan sosial dan ekologis yang dalam.

Eksploitasi Sumber Daya Global

Lithium dari Bolivia, koltan dari Kongo, dan tembaga dari Peru hanyalah sebagian contoh bagaimana sumber daya alam di Selatan dieksploitasi untuk industri bernilai miliaran dolar di Eropa, Amerika Serikat dan Asia. 

Mineral-mineral ini menjadi tulang punggung teknologi modern: baterai mobil listrik, ponsel, dan berbagai perangkat digital.

Namun, sementara negara-negara Utara semakin kaya, negara produsen hanya menerima sebagian kecil dari nilai sebenarnya sumber daya mereka.  

Di Bolivia, lithium dijual sebagai peluang pembangunan nasional, tetapi keuntungan jarang kembali ke masyarakat lokal. 

Perusahaan asing bekerja sama dengan elit politik memanfaatkan kontrak yang merugikan negara, meninggalkan dampak sosial dan lingkungan yang berat.

Hal serupa terjadi di Kongo, di mana penambangan koltan terkait konflik bersenjata, pekerja anak, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi. 

Sementara itu, perusahaan teknologi besar terus meraup keuntungan tanpa memperhatikan penderitaan masyarakat lokal.

Topeng Bantuan Internasional

Salah satu trik paling licik dari sistem ini adalah bagaimana penjarahan dilegitimasi melalui kesepakatan internasional dan program “bantuan”. 

Lembaga seperti IMF dan Bank Dunia memberikan pinjaman serta kebijakan penyesuaian struktural yang, secara teori, bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Kenyataannya, kebijakan ini justru memudahkan perusahaan asing mengeksploitasi sumber daya negara produsen.

Di Peru, penambangan tembaga didorong lewat perjanjian perdagangan bebas dan keringanan pajak bagi perusahaan multinasional.

Sementara perusahaan meraup keuntungan besar, masyarakat lokal 
menderita: sungai tercemar, tanah subur hilang, dan mata pencaharian rusak.

Apa yang disebut “investasi asing langsung” sesungguhnya adalah mekanisme ekstraksi kekayaan yang membuat negara-negara Selatan tetap tergantung dan rentan.

Makna Keadilan Ekologis

Dari kenyataan ini muncul dua konsep penting yang semakin relevan di tengah krisis planet: eco-justicia (keadilan ekologis) dan eco-espiritualitas. 

Keduanya menantang cara pandang ekonomi modern yang menempatkan alam hanya sebagai objek eksploitasi. 

Sebaliknya, keduanya menegaskan bahwa alam adalah ruang kehidupan bersama, tempat manusia menjadi bagian dari jaring ekosistem yang saling bergantung, bukan penguasa yang berhak memperlakukan bumi sesuka hati.

Keadilan ekologis memiliki dua dimensi utama: sosial dan lingkungan. Secara sosial, ia menuntut pembagian manfaat dan beban ekologis yang adil. 

Jika alam menghasilkan kekayaan, hasilnya harus dinikmati bersama bukan hanya oleh investor dan elit ekonomi, tetapi juga oleh masyarakat lokal yang menjaga dan menanggung akibat dari eksploitasi itu.

Secara lingkungan, keadilan ekologis menuntut tanggung jawab terhadap keberlanjutan bumi: menghentikan perusakan hutan, pencemaran air, dan eksploitasi berlebihan yang mengancam generasi mendatang.

Dengan kata lain, eco-justicia adalah upaya mengembalikan keseimbangan antara manusia dan alam dalam tatanan yang adil dan berkelanjutan.

Dimensi Batin Relasi Manusia dan Alam

Sementara itu, eco-espiritualitas menyoroti dimensi batin dari relasi manusia dengan alam. 

Ia mengingatkan bahwa bumi bukan benda mati, melainkan ciptaan yang hidup dan memiliki nilai spiritual. 

Dalam banyak tradisi keagamaan dan kearifan lokal Nusantara, alam dianggap sebagai saudara, guru, dan tempat kehadiran ilahi. 

Ketika manusia menghancurkan alam, sesungguhnya ia juga melukai bagian terdalam dari dirinya sendiri, jiwanya yang terhubung dengan seluruh kehidupan.

Eco-espiritualitas mengajak kita melihat alam dengan rasa hormat dan kasih: bukan sekadar alat produksi, melainkan sumber makna dan kesadaran bahwa kehidupan di bumi saling terkait dan saling menopang.

Pembangunan sejati, karenanya, tidak cukup diukur dari peningkatan angka pertumbuhan ekonomi, melainkan dari seberapa adil dan harmonis hubungan kita dengan alam dan sesama. 

Kita perlu beralih dari logika “menguasai” menjadi “berelasi”, dari “mengambil” menjadi “menjaga”.

Hanya dengan kesadaran ekologis dan spiritualitas yang utuh, kita bisa membangun masa depan yang tidak hanya makmur secara material, tetapi juga bermartabat secara manusiawi.

Tantangan bagi Indonesia

Indonesia, sebagai bagian dari Global Selatan, menghadapi dilema serupa. 

Kita kaya akan sumber daya alam: nikel, batubara, emas, dan minyak, namun sering kali kekayaan itu lebih banyak menguntungkan perusahaan besar dan asing dibanding rakyat sendiri.

Banyak wilayah penghasil sumber daya tetap miskin, sementara lingkungan mereka rusak berat.

Sudah waktunya Indonesia meninjau ulang makna pembangunan dan arah investasinya.                   

Kita membutuhkan model ekonomi yang menempatkan manusia dan alam di pusatnya, bukan sekadar angka dan keuntungan. 

Pemerintah perlu memperkuat tata kelola yang transparan, memastikan partisipasi masyarakat lokal, dan menegakkan prinsip keadilan ekologis dalam setiap kebijakan ekonomi.

Pembangunan sejati menghormati kehidupan: manusia, tanah, air, dan seluruh ciptaan. 

Selama alam diperlakukan hanya sebagai objek untuk dieksploitasi, bukan sebagai sesama ciptaan yang harus dijaga, krisis akan terus muncul dalam berbagai bentuk.

Menata Kembali Cara Pandang

Tantangan terbesar kita bukan hanya mengelola sumber daya alam, tetapi mengelola kesadaran kita sendiri. 

Kita perlu membangun cara pandang baru: manusia bukan penguasa atas alam, melainkan bagian darinya. 

Hanya dengan kesadaran itu, eco-justicia dan eco-espiritualitas dapat menjadi dasar bagi ekonomi yang benar-benar manusiawi dan berkelanjutan.

Hubungan manusia dengan bumi harus dipulihkan, karena hanya dengan itu kita dapat mencapai kemajuan sejati:  kemajuan yang memberi kehidupan, bukan sekadar keuntungan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved