Opini
Opini: 60 Tahun Nostra Aetate, Membangun Persaudaraan Lintas Batas
Tiga kata kunci dari dokumen ini adalah mengakui, memelihara, dan memajukan nilai-nilai kebaikan dalam agama-agama lain.
Oleh: Sr. Herlina Hadia,SSpS
Mahasiswa S3 Yarra Theological Union, University of Divinity Melbourne - Australia
POS-KUPANG.COM - Tahun ini merupakan enam puluh tahun diterbitkannya Nostra Aetate (Pada Zaman Kita), dokumen Konsili Vatikan II tentang hubungan Gereja dengan agama-agama lain.
Ini menandai perubahan besar dalam cara Gereja Katolik khususnya dalam memandang dan berrelasi dengan umat beragama lain.
Enam dekade berlalu, pesan dan semangat yang dikandungnya tetap relevan, bahkan semakin dibutuhkan di tengah dunia yang masih diwarnai oleh ketegangan dan prasangka atas nama keyakinan.
Baca juga: Dubes Vatikan Mgr Piero Pioppo Resmikan Gereja MBSM Kambajawa
Peringatan enam puluh tahun Nostra Aetate (NA) menjadi kesempatan berharga bukan hanya bagi Gereja Katolik melainkan bagi semua umat beriman dari agama apapun di Indonesia untuk merefleksikan kembali bagaimana semangat dialog dan penghargaan terhadap sesama telah dihidupi dalam konteks masyarakat yang majemuk.
Iman dan dialog, yang sejatinya bukan dua hal yang saling bertentangan, perlu terus dihayati sebagai kekuatan yang saling meneguhkan.
Dalam kehidupan beriman yang terbuka pada perjumpaan, masing-masing agama menemukan panggilannya untuk hadir sebagai jembatan persaudaraan, penabur harapan, dan saksi kasih di tengah keberagaman bangsa.
Sekilas tentang Nostra Aetate
Pada tanggal 28 Oktober 1965, satu tahun setelah Lumen Gentium (LG), Konsili Vatikan II menerbitkan Nostra Aetate.
Meskipun merupakan dokumen terpendek (lima bagian) yang dihasilkan oleh Konsili, dokumen ini menghidupkan kembali keterlibatan Gereja dengan agama-agama lain dan memperjelas sikap Kristen terhadap iman-iman non-Kristen.
NA menguraikan sikap positif Gereja terhadap agama-agama besar non-Kristen: Yudaisme, Islam, Hindu, dan Buddhisme.
Dokumen ini menyerukan agar Gereja memajukan persatuan dan cinta kasih di antara semua orang dengan mengakui dan menghormati apa yang menjadi kesamaan di antara berbagai iman (NA1).
Para Bapa Konsili menekankan bahwa dialog dan kerja sama dengan agama-agama ini bertujuan untuk “mengakui, memelihara, dan memajukan hal-hal yang baik; nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial-budaya yang ditemukan di antara umat-umat ini” (NA2).
Tiga kata kunci dari dokumen ini adalah mengakui, memelihara, dan memajukan nilai-nilai kebaikan dalam agama-agama lain.
Menurut NA, dialog berarti melihat melampaui perbedaan untuk mengenali kebaikan dan kebenaran yang ada dalam agama-agama lain.
Tanggung jawab pertama adalah mengakui unsur-unsur positif ini agar dapat dihargai dan dipahami.
Setelah diakui, tugas berikutnya adalah bekerja untuk memelihara nilai-nilai tersebut agar tetap terjaga dan tidak hilang seiring waktu.
Dialog juga bertujuan untuk memajukan nilai-nilai itu, secara aktif mendorong pelestarian dan pemahamannya.
Kehadiran di tengah agama-agama lain bukan untuk menghancurkan nilai-nilainya, melainkan untuk melindungi dan mengembangkan kebaikan yang terkandung di dalamnya.
NA memiliki pendekatan yang berbeda terhadap hal-hal baik yang ditemukan dalam agama-agama lain.
Menurut dokumen ini, nilai-nilai tersebut perlu diakui, dipelihara, dan dikembangkan untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan Gereja sebagaimana dipahami dalam LG yang menganggapnya sebagai persiapan bagi Injil.
Dokumen ini secara berani menyatakan bahwa apapun yang benar dan suci dalam agama lain tidak untuk ditolak (NA1).
Selanjutnya disebutkan bahwa “dengan sikap hormat yang tulus merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang” (NA2).
Dokumen ini memandang dialog sebagai sarana untuk bertindak, bukan sekadar untuk berbicara tentang agama-agama lain.
Makna bagi Dialog Antaragama di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, semangat Nostra Aetate menemukan ruang hidupnya yang nyata.
Gereja Katolik hadir dalam masyarakat yang plural—baik secara agama, budaya, maupun etnis—dan karena itu dipanggil untuk terus membangun jembatan perjumpaan.
Dialog antaragama di Indonesia bukan semata persoalan teologis, melainkan kebutuhan pastoral dan sosial yang mendesak.
Komunitas beriman Indonesia telah lama berupaya menghidupi semangat Nostra Aetate melalui berbagai bentuk kerja sama lintas iman: forum dialog, kegiatan sosial bersama, solidaritas kemanusiaan, dan pendidikan multikultural.
Di banyak tempat, begitu banyak pengikut dari agama yang berbeda belajar untuk beriman secara terbuka—yakni iman yang tidak tertutup pada diri sendiri, tetapi yang tumbuh justru dalam perjumpaan dengan yang berbeda.
Dalam konteks bangsa yang majemuk ini, iman yang matang tidak berarti mundur dari dunia, melainkan berani hadir dalam ruang publik dengan sikap hormat, rendah hati, dan penuh kasih.
Dialog tidak mengurangi kekuatan iman; sebaliknya, dialog memperdalam penghayatan iman karena melalui dialog, umat beriman belajar melihat karya Allah yang melampaui batas-batas institusi keagamaan.
Enam puluh tahun setelah Nostra Aetate, Indonesia, sebuah Negara yag sangat kental dengan religiositasnya diundang untuk terus meneguhkan jalan dialog ini.
Di tengah tantangan intoleransi, polarisasi sosial, dan misinformasi atas nama agama, semua orang dipanggil menjadi saksi bahwa iman sejati tidak pernah menimbulkan ketakutan terhadap yang berbeda, melainkan menumbuhkan cinta dan penghargaan terhadap sesama ciptaan Allah.
Dalam memaknai 60 tahun dokumen ini, umat beragama di Indonesia diingatkan kembali akan tugas utamanya dalam berdialog dengan sesama yang beragama lain yakni mengakui, memelihara, dan memajukan nilai-nilai kebaikan dalam agama-agama itu.
Langkah pertama yang ditegaskan oleh Nostra Aetate adalah mengakui — sebuah tindakan iman yang berangkat dari kerendahan hati untuk melihat bahwa karya Allah tidak terbatas pada satu tradisi keagamaan saja.
Mengakui berarti membuka mata dan hati terhadap nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih, dan kedamaian yang juga hadir dalam agama-agama lain.
Tugas ini berarti menumbuhkan sikap hormat dan pengakuan tulus terhadap keyakinan umat beragama lain sebagai bagian dari misteri keselamatan Allah yang bekerja di tengah dunia.
Mengakui juga berarti menolak prasangka, stereotip, dan superioritas religius, serta berani melihat bahwa dalam keanekaragaman iman, ada sinar kebenaran yang sama menerangi seluruh umat manusia.
Setelah mengakui, langkah berikutnya adalah memelihara nilai-nilai kebaikan tersebut agar tidak pudar oleh konflik, kecurigaan, atau sikap tertutup.
Memelihara berarti menumbuhkan ruang dialog yang berkelanjutan, di mana saling pengertian dan kepercayaan dapat tumbuh secara nyata.
Tugas memelihara ini diwujudkan dalam upaya memperkuat hubungan lintas iman di tingkat lokal maupun nasional—mulai dari kerja sama sosial, kegiatan kemanusiaan, hingga pendidikan yang menanamkan semangat toleransi dan persaudaraan.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, memelihara nilai-nilai ini berarti menjaga keseimbangan antara kesetiaan pada iman sendiri dan keterbukaan terhadap sesama, agar kehidupan bersama tetap damai dan beradab.
Tahap terakhir adalah memajukan — sebuah panggilan untuk secara aktif mengembangkan dan memperluas nilai-nilai kebaikan yang telah diakui dan dipelihara bersama.
Dialog yang sejati tidak berhenti pada saling mengenal, tetapi berbuah dalam kerja sama nyata demi kemanusiaan.
Dalam hal ini memajukan berarti terlibat secara aktif dalam membangun masyarakat yang adil, damai, dan berbelas kasih bersama umat beragama lain.
Semua orang dipanggil untuk menjadi motor penggerak solidaritas lintas iman, memperjuangkan keutuhan ciptaan, dan menumbuhkan budaya saling peduli di tengah arus individualisme dan polarisasi sosial.
Dengan demikian, iman yang berdialog bukan sekadar sikap pasif, melainkan bentuk kesaksian yang hidup—bahwa kasih Allah bekerja di mana pun ada niat baik untuk kebenaran dan perdamaian.
Iman dan dialog, bila dijalani bersama, menegaskan panggilan Gereja sebagai “tanda dan sarana persatuan seluruh umat manusia” (LG 1).
Di Indonesia yang beragama, semangat ini bukan hanya ideal, tetapi tanggung jawab moral dan spiritual.
Dalam semangat Nostra Aetate, kita semua dipanggil untuk terus berjalan bersama semua orang dalam membangun dunia yang lebih manusiawi, adil, dan damai — tempat di mana iman dan dialog tumbuh saling meneguhkan demi kebaikan bersama. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.