Opini

Opini: Fenomena The Matthew Effect di Indonesia

Tulisan ini bukan sebuah ajakan untuk merampas hak orang yang kaya tetapi sebuah refleksi kritis akan hidup sebagai masyarakat Indonesia. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Inosensius Enryco Mokos 

Ayat ini secara sempurna merangkum prinsip keuntungan kumulatif (cumulative advantage) yang diangkat Merton menjadi kerangka analisis sosiologis universal.

Efek Matius bekerja sebagai siklus umpan balik positif (positive feedback loop). 

Mekanisme dimulai dari modal awal, baik ekonomi, sosial (jaringan), maupun budaya (pendidikan) yang dimiliki suatu entitas. 

Keunggulan awal ini memicu akselerasi sumber daya, membuka akses ke peluang investasi yang lebih eksklusif, informasi unggul, dan pelatihan kelas atas. 

Proses ini menghasilkan kredibilitas yang menarik lebih banyak investor dan mitra, menciptakan siklus berkelanjutan yang mempercepat laju pengayaan. 

Sebaliknya, bagi kelompok miskin, ketiadaan modal awal menciptakan kerugian kumulatif ( cumulative disadvantage), meliputi pendidikan rendah, kesehatan buruk, dan minimnya jaminan sosial, sehingga kesulitan mengejar ketertinggalan. 

Dalam ekonomi, Efek Matius menjelaskan mengapa tingkat pengembalian investasi (ROI) bagi orang kaya selalu lebih tinggi, bukan hanya karena risiko, tetapi karena akses mereka ke instrumen finansial terbaik yang tidak terjangkau kelas menengah ke bawah.

Manifestasi Oligarki dan Kegagalan Hukum di Indonesia

Efek Matius beroperasi secara ekstrim di Indonesia karena terjalin erat dengan struktur ekonomi yang didominasi oligarki, yaitu elite bisnis dengan jaringan politik kuat yang mempengaruhi kebijakan. 

Kekayaan akut terkonsentrasi di tangan kelompok kecil ini, terutama dari sektor sumber daya alam dan proyek infrastruktur, menandakan laju pertumbuhan kekayaan di puncak telah melampaui segala upaya redistribusi. Di sisi lain, jurang kemiskinan tetap dalam. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 mencatat bahwa persentase penduduk miskin Indonesia masih berada di angka 8,57 persen, yang setara dengan sekitar 24,06 juta orang. 

Jutaan penduduk ini terjebak dalam perangkap Efek Matius: ketiadaan modal awal membuat mereka tidak mampu mengakses pendidikan berkualitas, rentan terhadap masalah kesehatan, dan ketiadaan modal usaha, membuat status kemiskinan seolah menjadi warisan turun-temurun, sebuah manifestasi kerugian kumulatif yang dijelaskan Merton.

Ironisnya, aturan dan perundang-undangan di Indonesia yang seharusnya menjadi alat redistribusi justru dapat berfungsi sebagai corong yang memperlebar jurang kesenjangan, didorong oleh kepentingan modal dari kelompok oligarki. 

Hal ini terlihat jelas dalam tiga aspek regulasi utama. Pertama, regulasi sektoral dan perizinan (seperti Undang-Undang omnibus atau fast-track) cenderung memudahkan dan mempercepat kepentingan investasi besar, seringkali mengorbankan hak-hak masyarakat lokal dan petani kecil. 

Kedua, kebijakan fiskal (Pajak) memungkinkan Efek Matius bekerja melalui celah hukum dan insentif pajak (tax loopholes dan tax holiday) yang eksklusif dinikmati korporasi besar, mengurangi kontribusi mereka ke kas negara. 

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved