Opini
Opini: Banjir Mauponggo, Alarm Terakhir dari Alam yang Terluka
Di permukaan, kita mungkin dengan mudah menyalahkan anomali cuaca, curah hujan yang ekstrem, atau fenomena alam yang alami.
Larangan keras membangun di sempadan sungai dan kawasan rawan gerakan tanah harus ditegakkan, bukan hanya menjadi aturan di atas kertas.
Revitalisasi Infrastruktur Alam: Tidak hanya membangun tanggul beton, tetapi lebih pada "memberi ruang untuk sungai" (room for the river).
Normalisasi sungai dengan memperlebar dan memperdalam alur, serta membangun infrastruktur penahan sedimen (check dam) di hulu untuk mengurangi daya rusak air.
Penguatan Sistem Peringatan Dini Berbasis Komunitas: Teknologi sederhana seperti penakar hujan otomatis yang terhubung dengan sirine peringatan di setiap dusun dapat memberikan waktu yang berharga bagi warga untuk menyelamatkan diri.
Perlu juga membangun tower-tower BTS atau Base Transceiver Station di beberapa titik di Mauponggo, untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi atau mempermudah komunikasi yang berkaitan dengan peringatan dini (Beberapa Desa atau kampung mengalami masalah jaringan internet dan komunikasi).
Banjir di Mauponggo adalah alarm terakhir. Ia adalah guru yang keras, mengajarkan bahwa kita tidak bisa terus-menerus mengeksploitasi alam tanpa membayar ongkosnya.
Alam telah berbisik melalui degradasi kecil, lalu berteriak melalui tanah longsor, dan kini ia menjerit melalui banjir bandang.
Sudah waktunya kita mendengarkan. Mari jadikan duka kali ini sebagai momentum untuk berbalik arah dari memerangi alam kembali kepada berdamai dan merawatnya.
Karena keselamatan kita di masa depan bergantung pada bagaimana kita memperlakukan tanah dan air di Mauponggo hari ini.
Pesan singkat dari Alam ini: “Kita tidak hanya mengambil atau menerima dari alam, tapi kita harus selalu memberi tanpa henti kepada Alam”. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.