Opini

Opini: Banjir Mauponggo, Alarm Terakhir dari Alam yang Terluka

Di permukaan, kita mungkin dengan mudah menyalahkan anomali cuaca, curah hujan yang ekstrem, atau fenomena alam yang alami. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO.DOMINIKUS KUCHU DUA
BANJIR BANDANG - Banjir bandang melanda sejumlah desa di Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Senin (8/9/2025) sore. 

Penyempitan, pendangkalan, dan pembelokan anak-anak sungai kecil (dalam bahasa local seperti lowo atau kali) untuk kepentingan pertanian atau permukiman telah memutus keseimbangan hidrologi mikro. 

Sungai yang sempit dan dangkal tidak akan mampu menampung luapan air dari hulu yang datang dengan volume dan kecepatan tinggi.

Air kemudian mengambil jalurnya sendiri yang seringkali adalah pemukiman penduduk. 

Belum lagi area-area yang yang harusnya merupakan aliran Sungai dijadikan sebagai lahan pertanian. 

Atau bisa jadi pembangunan infrastruktur seperti jembatan yang terlalu kecil dan sempit untuk saluran air di kali atau Sungai (bisa cek jembatan di kampung Pauleka-desa Lokalaba atau jembatan lain di desa tetangga).

Ketiga, bencana ini adalah tentang kerentanan sosial-ekologis (socio-ecological vulnerability). 

Dampak terberat selalu dirasakan oleh masyarakat yang paling rentan: mereka yang tinggal di bantaran sungai, dengan rumah sederhana, dan akses terbatas terhadap informasi peringatan dini. 

Banjir tidak hanya merenggut harta benda tetapi juga merenggut nyawa (Data Pos Kupang diperkirakan 9 orang menjadi korban, bahkan ada yang belum ditemukan jasadnya). 

Selain itu, merusak lahan pertanian, dan mengancam ketahanan pangan jangka pendek dan membuat masyarakat setempat kehilangan akses terhadap air bersih ( pipa dan saluran air rusak). 

Trauma psikologis yang ditinggalkan, terutama pada anak-anak dan korban lainnya adalah luka tersembunyi yang butuh waktu lama untuk pulih.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Respons jangka pendek seperti evakuasi, pendirian dapur umum, dan distribusi bantuan adalah mutlak dan harus diapresiasi bagi semua pihak yang peduli terhadap masyarakat setempat (“Masyarakat Mauponggo menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan itu). 

Namun, kita akan terus berputar dalam siklus yang sama jika hanya fokus pada respons darurat. Perlu semacam rencana jangka panjang yang tidak hanya berhenti sebagai rencana saja, tetapi harus radikal dan berani.

Rehabilitasi Ekosistem Hulu Secara Massive: Ini bukan sekadar menanam pohon, tetapi merestorasi seluruh fungsi ekologis daerah tangkapan air. 

Program penghijauan (reboisasi) dengan species native yang memiliki daya serap air tinggi harus menjadi prioritas utama, melibatkan seluruh elemen masyarakat dengan insentif yang jelas.

Penegakan Hukum Tata Ruang yang Kuat: Peta risiko bencana harus menjadi dasar utama dalam perencanaan pembangunan. 

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved