Opini
Opini: Mengungkap Kausalitas Fenomena Spasial Kemarau Basah di NTT
Fenomena yang kontradiktif ini adalah sebuah misteri. Sebagian bertanya, mengapa hujan bisa datang saat seharusnya kemarau?
Melalui analisis mendalam, terlihat bahwa kondisi iklim di NTT pada bulan September tidak lagi seragam, melainkan terpecah menjadi dua realitas yang sangat berbeda.
Hari Tanpa Hujan (HTH) menjadi Sebuah Kisah yang Terpecah
Salah satu indikator utama dari kondisi kemarau adalah Hari Tanpa Hujan (HTH).
Konsep ini dapat diibaratkan seperti "skor bebas hujan" untuk sebuah wilayah. Semakin tinggi skornya, semakin lama wilayah tersebut tidak diguyur hujan.
Menurut pantauan terkini pada Dasarian II September 2025, sebagian besar wilayah NTT mengalami Hari Tanpa Hujan dengan kategori Sangat Pendek (1-5 hari) hingga Menengah (11-20 hari).
Hal ini menunjukkan bahwa hujan dengan intensitas ringan hingga sedang masih sesekali turun di beberapa daerah, mencegah terjadinya kekeringan yang berkepanjangan secara merata di seluruh Provinsi NTT.
Namun, yang menarik perhatian adalah adanya kesenjangan spasial yang mencolok.
Di tengah kondisi yang secara umum masih mengalami hujan, beberapa wilayah justru mencatat Hari Tanpa Hujan dengan kategori Ekstrem Panjang, yang berarti tidak ada hujan selama lebih dari 60 hari.
Wilayah-wilayah ini mencakup Kabupaten Lembata (sekitar Wairiang dan Hadakewa), Kota Kupang (sekitar Fatubena), Kabupaten Timor Tengah Utara (sekitar Lurasik), Kabupaten Kupang (sekitar Lelogama), Kabupaten Sabu Raijua (sekitar Tardamu) dan Kabupaten Sumba Timur (sekitar Waingapu, Kanatang, Lambanapu, Rambangaru dan Kamanggih).
Dua data yang saling bertolak belakang ini menunjukkan bahwa NTT tidak dapat lagi dilihat sebagai satu kesatuan iklim yang homogen.
Sebaliknya, provinsi ini memiliki dua realitas yang hidup berdampingan.
Di satu sisi, ada wilayah yang menghadapi risiko kekeringan dan krisis air yang nyata.
Di sisi lain, ada wilayah yang mengalami kondisi yang jauh dari "kering" sama sekali.
Realitas ganda ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam mitigasi dan perencanaan, di mana pemerintah daerah dan masyarakat tidak bisa lagi menggunakan satu asumsi umum untuk seluruh wilayah.
Curah Hujan Tak Biasa di Tengah Kemarau
Untuk mengukur seberapa banyak air yang turun dari langit, digunakanlah istilah curah hujan.
Opini: Ekstradisi Eks Kapolres Ngada sama dengan Negara Melepas Tanggung Jawab kepada Korban |
![]() |
---|
Opini: Demonstrasi ala Gen Z |
![]() |
---|
Opini - Banjir Bali dan Nagekeo: Pelajaran Mitigasi untuk Nusa Tenggara Timur |
![]() |
---|
Opini - Causa Etika: Putusan PTDH Kompol Cosmas |
![]() |
---|
Opini: Dari Ujung ke Ujung Elar Selatan, Cermin Keabadian Janji Pemerintah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.