Opini

Opini: Panas Bumi vs Panas Surya, Menimbang Energi Bersih untuk Masa Depan NTT 

Energi bersih sejatinya tidak boleh hanya bersih di atas kertas, tetapi juga bersih di bumi dan di hati masyarakat serta jiwa generasi masa depan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ANGGELINUS NADUT
Anggelinus Nadut 

Oleh: Br. Anggelinus Nadut, SVD
Dosen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, Unika Widya Mandira Kupang - NTT

POS-KUPANG.COM - Pada tahun 2017, Pemerintah Pusat melalui Kementerian ESDM menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi lewat Keputusan Menteri ESDM No.2268/K/30/MEM/2017. 

Langkah ini dimaksudkan sebagai bagian strategi nasional untuk mempercepat transisi energi baru terbarukan. Namun sejak penetapan itu, muncul perdebatan panjang. 

Masyarakat NTT, khususnya di Flores, mengungkapkan keresahan: konflik tanah adat, ancaman kerusakan lingkungan, gangguan kesehatan, hingga bayangan bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Beberapa waktu lalu, tulisan “Geothermal NTT: Sains Bicara, Alam Menjawab” di media ini memantik beragam respons. 

Baca juga: Opini - Geotermal NTT: Sains Bicara Alam Menjawab

Ada yang mendukung, ada yang khawatir, dan ada yang bertanya: kalau panas bumi penuh risiko, apakah ada energi alternatif lain yang lebih ramah terhadap alam dan kehidupan masyarakat?

Tulisan ini mencoba memberi jawaban: membedah bagaimana panas bumi bekerja, risiko yang menyertainya, sekaligus membuka peluang energi surya sebagai jalan alternatif bagi masa depan energi NTT.

Bagaimana Panas Bumi Menjadi Listrik?

Secara sederhana, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) memanfaatkan panas dari perut bumi, lalu mengubahnya menjadi listrik. 

Prosesnya terdiri dari beberapa tahap:

1. Eksplorasi – tim geologi memetakan lokasi reservoir hidrotermal, yaitu batuan berpori yang menyimpan uap dan air panas.

2. Pengeboran eksplorasi – sumur bor dibuat hingga kedalaman 1.000–3.000 meter bahkan lebih, tempat suhu bisa mencapai 150–350°C dengan tekanan tinggi.

3. Sumur produksi – bila cadangan mencukupi, uap panas dialirkan ke permukaan.

4. Konversi listrik – uap panas bertekanan tinggi menggerakkan turbin, turbin memutar generator, lalu menghasilkan listrik yang siap digunakan.

5. Reinjeksi – air sisa dikembalikan lagi ke bawah tanah untuk menjaga kestabilan tekanan reservoir.

Di atas kertas, skema ini tampak efisien. Panas bumi tidak membutuhkan bahan bakar fosil, tidak ada asap hitam, dan dianggap ramah lingkungan. Tetapi kenyataan di lapangan sering kali berbeda.

Risiko di Lapangan

Saat sumur dibuka, bukan hanya uap panas yang keluar, melainkan juga gas-gas berbahaya: karbon dioksida (CO₂), hidrogen sulfida (H₂S), dan metana (CH₄) (Stefánsson, 2000). 

Gas H₂S, dengan bau menyengat seperti telur busuk, bisa mematikan pada konsentrasi tinggi.

Gas-gas ini bercampur dengan uap air di atmosfer. CO₂ larut membentuk asam karbonat, H₂S teroksidasi menjadi asam sulfat, sementara CH₄ melalui oksidasi menghasilkan CO₂ tambahan atau senyawa asam lainnya. 

Proses ini menyebabkan terbentuknya hujan asam, bahkan embun asam yang mampu mempercepat korosi pada seng rumah, bangunan keropos, menurunkan kesuburan tanah, hingga merusak tanaman (Arnórsson, 1995).

Selain itu, ada risiko lain: Gempa kecil akibat perubahan tekanan bawah tanah saat reinjeksi; Kontaminasi logam berat jika sumur bocor atau tidak kedap; Subsiden tanah, atau amblesnya permukaan akibat cairan panas ditarik keluar dalam jumlah besar; Semburan lumpur panas, pada sejumlah titik sekitar lokasi sumur panas. 

Juga, energi panas bumi boros lahan dan air. Untuk membangun area sumur, pipa, dan fasilitas, dibutuhkan lahan luas yang seringkali tumpang tindih dengan tanah adat.

Proses pendinginan dan reinjeksi juga mengonsumsi air dalam jumlah besar, sementara masyarakat Flores sering berhadapan dengan kekeringan.

Negara seperti Islandia dan Selandia Baru memang sukses mengelola geotermal. Namun perlu diingat: geologi mereka relatif stabil, teknologi maju, dan regulasi ketat. 

Kondisi Flores berbeda: tanahnya vulkanik muda, rawan gempa, dan sarat dengan sistem hidrotermal aktif (gunung api).

Dampak Bagi Pertanian dan Kehidupan Lokal

Mayoritas masyarakat Flores menggantungkan hidup pada pertanian. Bayangkan bila hujan asam menurunkan pH tanah, unsur hara tercuci, tanaman menguning, dan hasil panen tentu menurun. 

Ternak pun bisa terganggu oleh gas beracun. Di Mataloko, rumah dan lahan warga rusak akibat semburan lumpur panas.

Konflik tanah juga menjadi persoalan. Bagi masyarakat adat, tanah adalah warisan leluhur, bukan sekadar lahan ekonomi. 

Maka ketika proyek energi mengabaikan kearifan lokal, penolakan pun tidak terhindarkan.

Panas Surya: Alternatif yang Lebih Bersahabat

Berbeda dengan panas bumi, energi surya bekerja dengan cara yang lebih sederhana. 

Panel fotovoltaik menangkap cahaya matahari, mengubahnya menjadi listrik arus searah (DC), lalu inverter mengubahnya menjadi arus bolak-balik (AC) yang bisa digunakan sehari-hari.

Potensi NTT sangat besar. Data Kementerian ESDM menunjukkan rata-rata penyinaran matahari 4,8–5,1 kWh/m⊃2; per hari—salah satu yang tertinggi di Indonesia. Dengan luas atap rumah 20 m⊃2; saja, listrik harian bisa tercukupi.

Kelebihan energi surya: Aman secara geologi: tidak ada risiko semburan gas atau lumpur; Fleksibel: bisa dipasang di atap rumah, sekolah, gereja, atau dijadikan ladang surya (solar farm); Biaya makin murah: harga panel surya global turun drastis dalam satu dekade terakhir.

Memang ada kelemahan: listrik hanya tersedia saat matahari bersinar. Tetapi kini ada teknologi baterai penyimpanan yang semakin terjangkau. 

Indonesia bahkan sedang mengembangkan produksi baterai litium sendiri.

Belajar dari Negara Lain

Jerman, meskipun beriklim dingin dan mendung, mampu menjadi pionir energi surya berkat kebijakan insentif. India membangun desa mandiri energi berbasis surya di Gujarat. 

Tiongkok bahkan memiliki ladang surya raksasa yang mampu menyuplai listrik bagi jutaan rumah tangga.

Dengan potensi sinar matahari berlimpah sepanjang tahun, rata-rata 8–10 jam per hari, NTT sebetulnya jauh lebih ideal untuk energi surya dibandingkan banyak negara tersebut. 

Di NTT, energi surya sebenarnya bukan hal baru. Sejumlah proyek telah berjalan, mulai dari PLTS Oelpuah di Kupang (sejak 2006), PLTS hybrid di Pulau Sabu dan Raijua, hingga program Sumba Iconic Island yang sejak 2010 mengubah puluhan desa di Sumba menjadi desa listrik surya. 

Perkebunan misi SVD di Mansena, TTU telah menggunakan PLTS untuk pompa air. Sementara di Flores dan Lembata banyak sekolah serta puskesmas kini menggunakan panel surya atap untuk penerangan dan penyimpanan obat. 

Semua ini membuktikan bahwa sinar matahari di NTT bisa diolah menjadi energi nyata yang ramah lingkungan dan langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Tabel
Tabel (POS-KUPANG.COM/HO)

Jalan Tengah untuk Flores - NTT

NTT tidak harus memilih salah satu. Panas bumi bisa dikembangkan dengan regulasi ketat, teknologi pengendali emisi modern, dan keterlibatan masyarakat sejak awal. 

Namun energi surya sebaiknya dijadikan tumpuan utama. Potensinya besar, risikonya kecil, dan sesuai dengan kondisi iklim NTT.

Dengan kombinasi surya, angin, biomassa, dan geotermal terbatas, NTT bisa menjadi model transisi energi berkeadilan: listrik menyala tanpa harus membuat alam merana.

Penutup

Energi bersih sejatinya tidak boleh hanya bersih di atas kertas, tetapi juga bersih di bumi dan di hati masyarakat serta jiwa generasi masa depan. 

Panas bumi memang menjanjikan, tetapi risikonya nyata bagi tanah rapuh NTT. Sementara matahari hadir setiap hari di atas kepala, memberi energi tanpa meminta imbalan.

Pertanyaannya kini: apakah kita mau memaksa perut bumi yang rapuh, ataukah membuka mata pada cahaya surya yang setia menyinari ladang dan rumah kita? Panas surya setia menanti kapan saja dimanfaatkan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved