Opini

Opini: Panas Bumi vs Panas Surya, Menimbang Energi Bersih untuk Masa Depan NTT 

Energi bersih sejatinya tidak boleh hanya bersih di atas kertas, tetapi juga bersih di bumi dan di hati masyarakat serta jiwa generasi masa depan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ANGGELINUS NADUT
Anggelinus Nadut 

Di atas kertas, skema ini tampak efisien. Panas bumi tidak membutuhkan bahan bakar fosil, tidak ada asap hitam, dan dianggap ramah lingkungan. Tetapi kenyataan di lapangan sering kali berbeda.

Risiko di Lapangan

Saat sumur dibuka, bukan hanya uap panas yang keluar, melainkan juga gas-gas berbahaya: karbon dioksida (CO₂), hidrogen sulfida (H₂S), dan metana (CH₄) (Stefánsson, 2000). 

Gas H₂S, dengan bau menyengat seperti telur busuk, bisa mematikan pada konsentrasi tinggi.

Gas-gas ini bercampur dengan uap air di atmosfer. CO₂ larut membentuk asam karbonat, H₂S teroksidasi menjadi asam sulfat, sementara CH₄ melalui oksidasi menghasilkan CO₂ tambahan atau senyawa asam lainnya. 

Proses ini menyebabkan terbentuknya hujan asam, bahkan embun asam yang mampu mempercepat korosi pada seng rumah, bangunan keropos, menurunkan kesuburan tanah, hingga merusak tanaman (Arnórsson, 1995).

Selain itu, ada risiko lain: Gempa kecil akibat perubahan tekanan bawah tanah saat reinjeksi; Kontaminasi logam berat jika sumur bocor atau tidak kedap; Subsiden tanah, atau amblesnya permukaan akibat cairan panas ditarik keluar dalam jumlah besar; Semburan lumpur panas, pada sejumlah titik sekitar lokasi sumur panas. 

Juga, energi panas bumi boros lahan dan air. Untuk membangun area sumur, pipa, dan fasilitas, dibutuhkan lahan luas yang seringkali tumpang tindih dengan tanah adat.

Proses pendinginan dan reinjeksi juga mengonsumsi air dalam jumlah besar, sementara masyarakat Flores sering berhadapan dengan kekeringan.

Negara seperti Islandia dan Selandia Baru memang sukses mengelola geotermal. Namun perlu diingat: geologi mereka relatif stabil, teknologi maju, dan regulasi ketat. 

Kondisi Flores berbeda: tanahnya vulkanik muda, rawan gempa, dan sarat dengan sistem hidrotermal aktif (gunung api).

Dampak Bagi Pertanian dan Kehidupan Lokal

Mayoritas masyarakat Flores menggantungkan hidup pada pertanian. Bayangkan bila hujan asam menurunkan pH tanah, unsur hara tercuci, tanaman menguning, dan hasil panen tentu menurun. 

Ternak pun bisa terganggu oleh gas beracun. Di Mataloko, rumah dan lahan warga rusak akibat semburan lumpur panas.

Konflik tanah juga menjadi persoalan. Bagi masyarakat adat, tanah adalah warisan leluhur, bukan sekadar lahan ekonomi. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved