Cerpen

Cerpen: Sepucuk Surat untuk Guru Gute

Pesawat mendarat dan penumpang bergegas keluar. Bandara menyambut saya dengan aroma laut yang klise. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI KELUARGA PETRUS G BETEKENENG
Petrus Gute Betekeneng bersama istri dan tiga dari sembilan anaknya. 

Oleh: Letkol Laut Fidelis Betekeneng

POS-KUPANG.COM - Guru, hari ini dua tungkai saya yang masih berbau aspal Jakarta akan kembali menginjaki tanah keramat yang konon kau perjuangkan ini. 

Tanah di mana darah pernah menetes. Darah dari rahim Ina selama sembilan babak persalinan. 

Darah dari tubuh Paji dan Demong. Darah Ribu Ratu yang digebuk tangan-tangan raksasa dari Belanda.

Roda pesawat menyentuh landasan Wunopito dengan dentuman berat. Dari jendela kecil saya melihat kota dipenuhi gedung-gedung yang berseliweran bagai cendawan. 

Di kejauhan sana, bukit-bukit tandus menghampar, pepohonan lontar berjejer tegak, dan laut biru tampak dekat seolah pulau ini tak pernah bisa dipisahkan dari air garam. 

Pesawat mendarat dan penumpang bergegas keluar. Bandara menyambut saya dengan aroma laut yang klise. 

Seketika saya membayangkan wajahmu seolah engkau datang menyambut kedatangan saya. 

Guru, rindu padamu telah meluluhkan air mata saya dari kebekuannya. Saya membuka dompet demi memandang sebuah foto tua nan kusut di dalamnya. Seorang pemuda berjalan mendekat dan melayangkan pertanyaan, 

“Siapa orang tua di foto itu, Pak?” 

Saya mengunci mulut, lalu berjalan tanpa meninggalkan sepenggal jawab. 

Namun, seiring langkah saya menjauh, terdengar wanita tua (kuduga ibu si pemuda) menjawab penuh khidmat, “Itu pahlawan  kita, Nak. Dia terang bagi masa lalu kita yang gelap. Dia garam bagi masa depan kita yang hambar.” 

“Jadi, dia pahlawan?” tanya si pemuda. 

“Ya, dia pahlawan tanpa tanda jasa,” balas si wanita tua.

***

Tukang ojek membawa saya menjauhi bandara. Matahari menampar wajah. bau debu bercampur asin laut menyusup ke hidung. Dari kejauhan, aroma kenangan dari Hadakewa merasuk ke seluruh tubuh. 

Sepeda motor melaju ke depan, tetapi seperti pohon-pohon dan deretan bangunan di pinggir jalan, memori saya bergerak mundur ke suatu hari di tahun 1954. 

Lalu, sebuah gedung bersejarah menjamu mata saya. Rumah Situs 7 Maret, orang-orang memberinya nama. 

Nama yang menyeret ingatan saya pada hari di mana kau menanam benih mimpi. 

Mimpi tentang Paji dan Demong berdiri dalam lingkaran perdamaian, bersatu sebagai saudara di persada Lewotana.

Maka saya terkenang akan hari itu, Guru. Hari di mana angin laut tak urung menusuk pori-pori tubuhmu. Orang-orang berkumpul. Wajah tegang, langkah berat. 

Kau dan mereka di ruangan itu hendak menyulam sejarah damai sementara tak jauh dari situ, orang-orang menyerukan pekik pertempuran. Paji di sisi kiri. Berdiri dengan dada dibusungkan. Tatapan tajam. 

Di sisi lainnya, Demong memasang wajah garang. Mata penuh curiga. Tombak dan parang melayang, menebas, menumpas.

Di antara mereka terbentang tanah kosong. Tapi itu bukan sekadar tanah, Guru.

Itu jurang yang digali kolonialisme, diperdalam oleh politik divide et impera. Paji melawan Demong. Demong menantang Paji. Saudara memusuhi saudara.

Bisik-bisik terdengar menusuk telinga

"Jangan percaya mereka."

"Mereka bukan kita."

Anak-anak bersembunyi di balik kaki orang tua. Beberapa lelaki meraba gagang parang di pinggang. Hari itu, Lewotana nyaris jadi lautan darah.
Engkau maju, Guru. 

Tubuhmu diterangi cahaya matahari. Wajahmu serupa sungai teduh yang mengalirkan kesejukan, mendingingkan bara kebencian. 

Suaramu menembus riuh: "Cukuplah! Di tanah ini tak perlu lagi ada Paji, tak perlu juga Demong. Kita semua bersaudara. Kita ini satu. Satu Ribu Ratu. Satu tanah. Satu darah. Apalah artinya menang jika saudara sendiri kalah?"

Orang-orang terdiam. Laut seolah ikut berhenti bergemuruh. Engkau mengangkat tangan, lalu kata-kata itu meluncur dari bibir dan memahat sejarah: "Rakyat Lomblen adalah satu kesatuan yang mendiami satu pulau dan menolak segala bentuk perpecahan. Terkutuklah orang yang membuat perpecahan di Lembata!"

Kata-katamu itu, Guru, bagaikan jembatan yang meniadakan jurang. Dari kubu Paji, seorang tua berdiri, menepuk dada. 

Dari kubu Demong, seorang pemuda maju, meletakkan parang di tanah. Sorak sorai pecah. 

Tangis pecah. Hari itu, engkau menutup pintu perpecahan. Mulai hari itu, Lembata belajar bersatu. 

***

Saya turun di pertigaan. Lanjut berjalan kaki melintasi gang sempit sepanjang RW Berdikari. Di sisi kanan dan kiri, rumah-rumah berdiri megah. Anak-anak bersepeda. 

Aroma kopi mengundang. Nama tempat ini seakan gema semboyanmu: Lembata mesti berdiri di kaki sendiri.

Setiap langkah saya membangkitkan ingatan tentang langkahmu menuju podium di sidang parlemen. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Provinsi Sunda Kecil. 

Ruangan itu cukup megah, dinding cerah, meja panjang berderet, jendela tinggi terbuka ke bentangan kota. 

Di sanalah engkau berdiri, mewakili suara pulau kecil yang sering dilupakan.

"Bung Gute, pulau itu terlalu jauh," celoteh seorang kolega.

"Jauh bukan alasan untuk dilupakan, Bung!" jawabmu tenang, tapi tegas.

Engkau memperjuangkan jalan, sekolah, hak anak-anak membaca. Engkau menulis laporan dengan tanganmu sendiri, kertas yang kini mungkin sudah dimakan rayap. 

Di rapat-rapat panjang, engkau bicara tentang pulau kecil bernama Lomblen, yang ingin berdiri di kaki sendiri.

Sebagian mendengar, sebagian meremehkan. Tak sedikit yang mencibirmu demikian, “Guru Gute berambisi jadi presiden Lomblen, kah?” 

Tapi engkau tak pernah mundur. Dari kursi Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) Provinsi Sunda Kecil, kau tanam benih yang kelak tumbuh jadi kabupaten bernama Lembata, meski pada akhirnya bukan engkau yang bertahta di pucuk kekuasaan. 

Engkau memilih berdiam di tanah bersama rakyat dan melanjutkan perjuangan. 

Di sinilah saya berada sekarang, Guru. Di tanah yang kau perjuangkan ini. Saya berhenti di tikungan gang. Rumah-rumah di sini memang mewah. 

Tapi saya tahu, fondasinya bukan dari emas atau warisan. Fondasinya adalah kerja keras seorang guru. 

Engkau lengkap dengan seluruh lanskap tubuh seorang pejuang: sepatu berlubang, baju lusuh, topi yang menyerap keringat dan bau kepalamu, segalanya seperti menempel di dinding-dinding rumah, sekolah, Gereja, gedung DPR, kantor Bupati, dan di mana saja. 

Orang-orang mungkin tak melihatnya. Tapi mata saya sanggup melihatmu di segala tempat.

***

Nyaris tiba di rumah tua, saya hentikan langkah. Anak-anak sekolah berarak pulang ke rumah. 

Langkah kaki mereka yang terburu-buru seperti derap kaki Pelor, kuda kesayangan yang kau tunggangi kala berziarah dari desa ke desa, dari desa ke kota, menyeberangi sungai dangkal, mendaki bukit berbatu. 

Kau tebarkan aksara di seantero Lembata. "Saya tidak bisa duduk diam, di rumah ini, Ina," katamu pada istrimu di suatu waktu, "Saya harus memberi rakyat makan, bahkan jika demi itu, saya mati kelaparan."

"Ama mukut kasih makan Lembata, tapi anak-anak di rumah lapar dan merana, Ama." Timpal istrimu sembari memilin benang untuk menjahit kebaya pelanggannya.

"Biar susah bagaimana pun, Ina, kita harus berbakti. Tuhan kasih kita rezeki, kita patut berbagi."

"Tapi, Ama, yang Ama bawa setiap kali pulang rapat dan patroli dari desa ke desa bukan jagung titi, putu, atau keleso. Ama datang bawa kompor. Anak-anak kita tidak akan kenyang makan sumbu kompor, Ama, ingat itu!"

"Ina, hidup hanya sekali. Sesudah itu mati. Apa yang akan kita bawa ke surga nanti? Tidak ada yang lain selain amal dan kasih, Ina," balasmu sembari menyeruput kopi, "Ketahuilah satu rahasia perjuangan saya ini, Ina. Saya tidak sanggup melihat anak-anak pulau ini terus-terusan hidup dalam bayang-bayang kemiskinan dan kelaparan, hidup terpinggirkan dan terisolasi."

"Jeritan anak-anak yang lapar bagai udara kotor yang membusukkan makanan di meja makan saya. Air mata yang menetes di wajah anak-anak Lembata bagaikan racun yang merobek lambung dan usus saya. Inilah yang menggerakkan jiwa dan raga saya. Mimpi saya hanya satu, Ina, suatu waktu, ketika saya terkubur di dalam tanah, roh saya menyaksikan matahari kejayaan bersinar terang di atas kuburan saya. Hanya itu, Ina."

Ah, Guru, dari ribuan pemerintah di negeri ini, kau satu-satunya yang berani menanggalkan jubah kebesaran demi memberi kehangatan bagi rakyatmu. 

Anak-anak Lembata hari ini barangkali lebih pandai darimu. Tapi, saya tahu, Guru. 

Perjuanganmulah yang membuat mereka seperti itu. Dan saya ingat suatu waktu kala saya temani kau ke satu desa kecil. 

Dengan wibawa tapi bersahaja, kau berdiri di depan papan tulis reyot. Kapur putih di tanganmu. 

"Lem...ba....ta..., mer....de....ka." kau ajarkan anak-anak mengeja. Satu anak belajar menulis, satu keluarga terangkat. Seribu anak belajar berhitung, satu pulau bangkit. 

Dari perjalananmu sebagai guru keliling, Lembata perlahan punya dasar untuk berdiri. 

***

Di sinilah saya berada sekarang. Duduk di rumah tua ini. Cat dinding pudar, pohon mangga di halaman masih berbuah. Kursi kayu di teras kosong, hanya berdebu.

Di ruang tamu, foto hitam-putihmu tergantung. Wajahmu teduh.  Saya setengah berteriak, "Guru, saya pulang." 

Tapi hanya angin sore yang menjawab.  Engkau tak lagi duduk di sicemu. Rumah kosong bagai sarang yang ditinggalkan burung. Rumah yang dijajah sepi. 

Namun, di balik sunyinya, tersimpan masa lalu dan sejarah yang gilang gemilang, sejarah yang membuat saya berani bersaksi bahwa di rumah ini pernah tinggal seorang guru yang selalu berjalan dari kampung ke kampung.

Seorang pemimpin visioner dan pemersatu, seorang anggota DPR-GR Sunda Kecil perwakilan Flores yang bersuara demi pulau kecil Lomblen, dan seorang seorang pendamai yang merobohkan tembok Paji dan Demong.

Saya menulis surat ini bukan sebagai politisi. Saya bukanlah siapa-siapa di tanah ini. 

Saya bukanlah seperti engkau yang pergi ke liang kubur bersama tubuh yang membusuk tapi meninggalkan sejarah yang harum di atasnya. 

Saya hanyalah seorang rakyat biasa yang tak punya apa-apa selain cerita yang dibalut rasa bangga terlahir sebagai anakmu.

Selamat beristirahat, Guru Gute. Saya taruh surat ini di pusaramu. Bila sempat, sesekali datanglah membacanya. Saya sudah siapkan secangkir kopi dan semangkuk jagung titi untuk menjamumu.

Lewoleba, Medio Agustus 2025. (*)

Keterangan

Guru Gute: nama panggilan alm. Petrus Gute Betekeneng (lahir: 1 April 1926, wafat: 30 Maret 2014). Ia adalah salah satu pelopor dan pejuang terbentuknya daerah otonomi Lembata. Ia menjadi ketua panitia pencetus Statement 7 Maret 1954, sebuah forum pejuang persatuan Lembata.

Ama: Bapak (bahasa Lamaholot).

Ina: Ibu (bahasa Lamaholot).

Pelor: Nama kuda yang konon dipakai oleh alm. Petrus Gute Betekeneng untuk berkeliling dari desa ke desa untuk mengajar di sekolah-sekolah rakyat.

Paji dan Demong: dua kubu yang saling bermusuhan sejak masa kolonial Belanda. Kedua kelompok ini merupakan produk politik Divide et Impera dari kolonoial Belanda. 

Ribu Ratu: Sebutan untuk rakyat Lembata

Lomblen: nama lain dari pulau Lembata.

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved