Opini
Opini: Flobamora, Identitas Budaya Melampaui Batas Administrasi
Masyarakat NTT selama ini sudah membuktikan bahwa Flobamora mampu menjadi jembatan identitas.
Oleh: Pascal S Bin Saju
Wartawan senior, tinggal di Jakarta
POS-KUPANG.COM - Mari kita melantunkan lagu “Flobamora” sebelum membaca artikel ini.
Flobamora… tanah air,
ku yang tercinta,
tempat beta,
dibesarkan ibunda…
meski beta lama jauh,
di rantau orang,
beta inga mama janji,
pulang e…
Biar pun tanjung teluknya,
jauh tapele nusa ku,
tapi slalu terkenang di kalbu,
ku u .. u .. u…
Anak Timor main sasando,
dan manyanyi … bolelebo,
rasa girang dan badendang,
pulang e…
Hampir siang,
beta bangun sambil manangis,
mengenangkan Flobamora,
bolelebo…
Rasa dingin beta,
ingat di pangku mama,
air mata basa pipi,
sayang e…
***
Lagu Flobamora paling santer dinyanyikan oleh para diaspora dari Nusa Tenggara Timur ( NTT), entah di seluruh Nusantara maupun diaspora di luar negeri, seperti di Inggris, Australia, Malaysia, dan Amerika.
Baca juga: Flobamora Film Festival Ditutup Dengan Penganugerahan Kepada Pemenang Nominasi
Lagu itu begitu lekat di telinga masyarakat diaspora. Nama Flobamora singkatan dari Flores, Sumba, Timor, dan Alor—empat gugus kepulauan besar yang membentuk Provinsi NTT.
Flobamora bukan sekadar nama wilayah atau kategori administratif pemerintahan—seperti yang sering salah kaprah dipahami—melainkan simbol “kebersamaan aneka ras dan budaya” yang hidup di masyarakat NTT.
Namun, setiap kali ada daerah baru dimekarkan, muncul perdebatan kecil: apakah nama Flobamora harus ditambah?
Ketika Lembata menjadi kabupaten pada 1999, misalnya, muncul usulan agar nama itu diubah menjadi Flobamorata karena ada tambahan “ta” dari Lembata.
Wacana serupa kembali muncul ketika Rote Ndao, Sabu Raijua, dan lainnya muncul. Maka di Jabodetabek, sekarang ini, selain ada juga komunitas Flobamorasta dan Flobamorarosa.
Ketika muncul lagi daerah baru seperti Malaka, Manggarai Timur, Manggarai Barat, Nagekeo, … orang bingung mau ditambahkan apa ke nama Flobamora?
Justru di sinilah masalahnya: Flobamora sejak awal tidak dimaksudkan untuk mencatat setiap ada kelahiran daerah baru, melainkan untuk mewakili ikatan kultural yang lebih luas di empat gugus kepulauan besar tadi.
Sejarah lahirnya nama Flobamora ini penting dicatat. Flobamora mulai dipopulerkan pada era Gubernur Ben Mboi (akhir 1980-an hingga awal 1990-an) sebagai simbol pemersatu masyarakat NTT, seperti sebutan Nusantara untuk Indonesia.
Tujuannya sederhana namun mendalam: mencari satu sebutan yang bisa merangkum keberagaman masyarakat NTT.
Gugus kepulauan Flores dengan aneka bahasa daerah dan budayanya, Sumba dengan tradisi budaya megalitikum, Timor dengan sejarah kerajaan-kerajaannya, dan Alor dengan keragaman suku di pulau kecil—semua disatukan dalam satu istilah oleh Ben Mboi: Flobamora.
Jadi sejak awal, Flobamora adalah simbol pemersatu, bukan daftar inventarisasi wilayah.
Buku Flobamora di Nusa Tenggara Timur (2002) yang diterbitkan Direktorat Tradisi dan Kepercayaan (Kemdikbud) menyajikan penjelasan formal: istilah Flobamora digunakan untuk mengenalkan anak-anak kepada identitas geograif dan kultur NTT; ia dimaknai sebagai identitas kolektif yang menyatukan empat pulau besar dan ratusan pulau kecil di sekitarnya.
Kalau kita perhatikan, simbol seperti ini tidak hanya ada di NTT. Indonesia punya istilah “Nusantara” yang digunakan sejak masa pergerakan nasional.
Meski jumlah provinsi kini sudah mencapai puluhan, istilah Nusantara tidak pernah berubah. Mengapa? Karena makna simbolik jauh lebih penting daripada keakuratan administratif.
Begitu pula Flobamora. Ia bukan soal menambah huruf setiap kali ada kabupaten dan kota yang baru, melainkan menjaga semangat persaudaraan yang menyatukan semua orang NTT.
Jika kita memaksakan logika administratif, maka Flobamora akan kehilangan kekuatannya.
Bayangkan, jika setiap kali ada pemekaran daerah kita harus memperpanjang akronim itu, lama-lama akan terbentuk istilah yang sulit diingat dan membingungkan.
Lebih dari itu, semangat kebersamaan bisa tergerus oleh semangat kedaerahan sempit.
Sebab, setiap daerah akan merasa perlu diwakili dalam singkatan, dan ini berpotensi melahirkan kompetisi identitas yang tidak sehat dan bahkan mungkin juga konflik.
Ini juga antara lain tampak dalam perdebatan “di mana ibu kotanya” dalam wacana pembentukan Provinsi Flores.
Masyarakat NTT selama ini sudah membuktikan bahwa Flobamora mampu menjadi jembatan identitas.
Di rantau, baik di seluruh pelosok Nusantara maupun di luar negeri (Inggris, Australia, Malaysia, Amerika Serikat), nama Flobamora digunakan untuk menamai organisasi paguyuban, sanggar budaya, hingga komunitas mahasiswa.
Kata Flobamora memberi rasa bangga dan rasa ingin pulang (seperti lagu Flobamora tadi), sekalipun jauh dari tanah kelahiran.
Orang Timor, Flores, Sumba, maupun Alor bisa menyebut dirinya sama: warga Flobamora. Di situlah kekuatan istilah ini—ia menjadi rumah bersama.
Dari sisi antropologi, identitas seperti Flobamora disebut identitas payung ( umbrella identity).
Ia tidak harus merinci semua perbedaan, tapi cukup kuat untuk merangkul semua di bawah satu payung. Justru karena sederhana, simbol ini bisa hidup lama dalam kesadaran masyarakat.
Oleh karena itu, wacana mengubah Flobamora menjadi Flobamorata atau bentuk lain sebenarnya kurang tepat. Yang dibutuhkan bukan penambahan huruf, tetapi penguatan makna.
Bagaimana istilah ini terus dipelihara sebagai perekat sosial, terutama di tengah tantangan zaman: migrasi, urbanisasi, dan arus globalisasi.
Flobamora adalah cara orang NTT berkata: “Kami berbeda, tetapi kami satu.”
Flores, Sumba, Timor, dan Alor hanyalah pintu masuk simbolik. Sesungguhnya, semua kabupaten, kota, dan pulau di NTT sudah tercakup di dalamnya.
Identitas ini tidak perlu berubah setiap kali peta administratif berubah.
Hal terpenting ialah menjaga substansi: kebersamaan, solidaritas, dan kerja sama lintas etnis, agama, dan daerah.
Hal ini terlihat jelas dalam semangat bersama membela dan mengadvokasi kasus Komisaris Polisi Cosmas Kaju Gae yang terkena sanksi PTDH oleh sidang kode etik Polri. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Pascal-S-Bin-Saju-biru.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.