Opini
Opini: OVOP dan Revolusi Ekonomi dari Pinggiran
Di tengah kegamangan itu, Program One Village One Product (OVOP) di NTT setidaknya hadir sebagai angin segar.
Esensinya bukan sekadar mengejar pertumbuhan angka ekonomi, melainkan memberikan ruang bagi komunitas untuk tumbuh dengan caranya sendiri, sesuai nilai, kearifan, dan potensi yang mereka miliki.
Dan OVOP, jika dijalankan dengan prinsip ini, desa bisa bebas dari ketertinggalan, sekaligus menghidupkan daya inovasi lokal.
Karena itu, 44 produk yang diluncurkan Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, harus dibangun berdasarkan karakter, budaya, dan identitas masing-masing desa.
Gagasan OVOP di NTT, bagi saya, bukan sekadar proyek pengembangan produk lokal. Lebih dari itu, program ini sebagai bentuk keberanian untuk memulai pembangunan dari arah berbeda.
Kalau selama ini desa jadi penonton, kini dengan OVOP, panggung itu perlahan diputar balik. Desa menjadi pusat gagasan, sumber produksi, dan sekaligus simbol kebangkitan ekonomi lokal.
Tantangannya tentu tak kecil. Perlu ada kesinambungan antara pelatihan, pendampingan, pemasaran, dan kebijakan konkret.
Jika Jepang bisa membangun kekuatan global dari produk-produk pinggiran, maka Indonesia pun bisa.
Bahkan harus. Dan di sinilah NTT telah mengambil langkah awal yang tepat, sebuah langkah yang perlu dijaga dan diperkuat.
Perkuat Narasi Indentitas
Untuk memperkuat gerakan OVOP, perlu sistem kolaboratif yang apik. Cerita, identitas, dan sejarah desa harus menjadi kekuatan utama dalam membangun merek produk lokal.
Ini bukan sekadar soal pemasaran, tetapi cara baru melihat desa bukan sebagai objek produksi, melainkan sebagai subjek budaya yang bernilai.
Selama ini, yang sering terabaikan adalah kekuatan simbolik dari asal-usul produk itu sendiri.
Ketika narasi desa diangkat dan diorganisasi secara kolektif, maka produk tidak hanya dibeli karena bentuknya, tetapi karena makna yang dibawanya.
Ekosistem narasi ini harus melibatkan tiga aktor utama: masyarakat desa sebagai penjaga memori kolektif, akademisi sebagai penerjemah identitas, dan pemerintah sebagai fasilitator ruang-ruang interaksi lintas aktor.
Dengan sinergi ini, desa tidak sekadar memproduksi barang, tetapi juga membangun bahasa dan nilai-nilai yang memperkuat daya tawar mereka di pasar.
Ernestus Holivil
Program OVOP
One Village One Product
Emanuel Melkiades Laka Lena
Nusa Tenggara Timur
Opini Pos Kupang
Opini: Memadukan Deep Learning dan Deep Teaching |
![]() |
---|
Opini: Rp 50 Juta untuk Rumah DPR, Rakyat Masih Sulit Bayar Rumah Sakit |
![]() |
---|
Opini: Menata Ulang Tata Kelola Anggaran Daerah, Refleksi dari OBS 2023 dan Temuan BPK NTT |
![]() |
---|
Opini: Balada Negeri Tabola Bale |
![]() |
---|
Opini: Segel dan Selempang, Dua Wajah Kekuasaan Di Hari Yang Sama |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.