Opini

Opini: Segel dan Selempang, Dua Wajah Kekuasaan Di Hari Yang Sama

Satu pakai lakban hitam, berteriak dari atas pikap dengan soundsistem mirip ember bocor, yang satu berselempang indah berpidato.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI POS-KUPANG.COM
Yakobus Beda Kleden 

Oleh : JB Kleden 
Dosen IAKN Kupang

POS-KUPANG.COM - Di hari yang sama, dua panggung digelar: satu dengan segel dan teriakan, satu dengan selempang dan pidato. Tapi keduanya merupakan ekspresi dari satu hal yang sama: kekuasaan. 

SELASA (5/8/2025)  Undana berseri. Kampus tertua kebanggaan NTT ini kembali melahirkan guru-guru besar. 

Sementara tak jauh dari Undana, di IAKN Kupang, perguruan tinggi keagamaan negeri pertama di NTT juga riuh. Riuh dengan aksi demo menyegel ruang rektorat. 

Undana berpesta, IAKN bersedih. Tapi artikel ini tidak membahas persoalan internal IAKN Kupang, juga tidak membahas prosesi pengukuhan guru besar di Undana. Artikel ini coba melihat dua wajah berbeda dari kekuasaan.

Satu wajah disegel penuh amarah, satu diselempang penuh hormat. Satu digelar di halaman kampus jadi tontotan massa, satu di auditorium bergengsi dihadiri pejabat dan orang berdasi. 

Baca juga: Mahasiswa Segel Ruang Kerja Rektor IAKN Kupang

Satu pakai lakban hitam, berteriak dari atas pikap dengan soundsistem mirip ember bocor, yang satu berselempang indah berpidato di podium megah dengan soundsistem yang teduh dan lembut. 

Dua narasi ini tampak bertolak belakang, bahkan saling menjauh. Tapi keduanya berbicara tentang satu hal yang sama: Kekuasaan, harapan dan keberanian untuk berubah demi masa depan kehidupan bersama yang lebih baik.

Segel Sebagai Teks Sosial

“What’s going on?” para mahasiswa berkicau “Oh I see, I have a problem” yang lain menimpali. Publik membacanya sebagai protes. Tapi bagi saya, segel adalah sebuah teks sosial.

Dalam dunia yang semakin birokratis, di mana kekuasaan berkembang menjadi monster yang dengan hati dingin berjusta, atas nama bonum commune, sebuah tindakan langsung menjadi bahasa yang lebih nyaring daripada surat terbuka atau mosi tidak percaya. Mungkin karena ia punya appeal: pura-pura betah tapi terimpit.

Prof. Keltner dari UC Berkeley dalam penelitiannya hampir 20 tahun menemukan fenomena “the power praradox”. Seorang pemimpin yang awalnya terpilih karena karakter positifnya, selalu berubah ketika ia merasa kekuasaannya makin kuat. 

Power yang awalnya digunakan untuk mempengaruhi orang lain agar mengukuti visinya berubah menjadi power untuk membuatnya mendapatkan privilese yang menurutnya menjadi haknya selaku pemimpin.  

Pada titik ini, seorang pimpinan memiliki kecenderungan tiga kali lipat lebih besar menginterupsi pekerjaan anak buah dan pejabat di bawahnya. 

Melakukan multiasking sambil rapat dan memberikan beragam pressure untuk menunjukkan kekuasaannya. Bagaimana bisa menghindar dari situasi yang memabukkan ini?

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved