Opini

Opini: OVOP dan Revolusi Ekonomi dari Pinggiran 

Di tengah kegamangan itu, Program One Village One Product (OVOP) di NTT setidaknya hadir sebagai angin segar. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ERNESTUS HOLIVIL
Ernestus Holivil 

Harus diakui, masalah utama kita selama ini adalah keterputusan struktural. 

Desa punya produk, tapi tidak punya pasar; punya kearifan, tapi tidak punya kemasan; punya semangat, tapi tidak punya jejaring. 

OVOP hadir menjahit keterputusan itu dengan pendekatan holistik yang menyatukan potensi, identitas, dan strategi promosi dalam satu ekosistem. 

Ini gerakan ekonomi, yang sekaligus menempatkan desa setara dalam narasi pembangunan.

Kalau kita ingin belajar dari praktik terbaik, maka Jepang adalah rujukan yang tak bisa diabaikan. 

OVOP pertama kali digagas di Prefektur Oita oleh Gubernur Morihiko Hiramatsu pada 1979. 

Prinsip dasarnya sederhana namun revolusioner: satu desa, satu produk khas, berbasis sumber daya lokal, dengan daya saing global. 

Hasilnya nyata. Dari Produk seperti miso Yufuin, sake Oita, hingga kerajinan bambu Beppu kini tak hanya menjadi ikon lokal, tetapi juga ekspor bernilai jutaan dolar. 

Kuncinya ada pada konsistensi kebijakan, dukungan pelatihan, serta penguatan narasi budaya sebagai nilai jual.

NTT memang berbeda dari Oita. Namun bukan berarti tak bisa meniru keberhasilannya. Yang dibutuhkan adalah keberanian mengembangkan OVOP sebagai gerakan ekonomi yang terhubung dengan budaya dan identitas. 

Seperti di Jepang, produk-produk OVOP di NTT tidak cukup hanya dilihat sebagai komoditas, tapi sebagai cerita. Tentang tanah, tradisi, dan komunitas.

Kita bisa membayangkan masa depan kopi Bajawa, pinang Rote, atau kerajinan tangan Flores menjadi ikon yang dikenal di seluruh Indonesia bahkan dunia.  

Bukan karena iklan besar atau modal asing, tapi karena kisahnya yang otentik dan desa yang menjadi panggungnya. 

Artinya, OVOP tak hanya membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi, tapi juga kebangkitan budaya dan identitas. Jepang telah membuktikannya. NTT sedang memulainya.

Pembangunan kita, mengutip Amartya Sen, harus memperbedayakan (development as empowerment). 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved