Opini

Opini: Dua Dekade Sertifikasi Guru dan Krisis Pembelajaran 

Sertifikasi guru hanya sebatas syarat administratif, bukan transformasi pendidikan bermutu yang hendak dituju. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI YAHYA ADO
Yahya Ado 

Melihat ulang tujuan dan dampaknya,  dan jika tidak segera direformulasi, sertifikasi guru hanya akan menjadi kebijakan penggugur kewajiban. Kita butuh reorientasi sertifikasi guru ke hasil belajar siswa.  

Tunjangan dan status profesional sebaiknya berbasis bukti praktik pembelajaran yang berdampak, serta integrasi dengan pengembangan profesi berkelanjutan (PKB). 

Sertifikasi harus diikuti pelatihan berbasis kelas, mentoring, supervisi, dan refleksi pedagogi yang holistik. 

Kita perlu gunakan data Rapor Pendidikan dan hasil AN/UN setiap tahun untuk menilai efektivitas guru pascasertifikasi. 

Ini penting untuk melihat hasil sertifikasi kepada dampak pembelajaran. Pun butuh keadilan antar daerah. 

Perlu ada  afirmasi dan pendampingan bagi guru sertifikasi agar kebijakan ini tidak menjadi pemicu ketimpangan di dunia pendidikan baru. 

Kebijakan sertifikasi guru adalah upaya akbar yang tak boleh dibuang.  Tetapi juga tak bisa dipertahankan dalam bentuknya sekarang. 

Kita harus fokuskan kebijakan ini untuk memampukan guru menjawab krisis pembelajaran, tidak  sekadar mengalihkan perhatian dari perubahan praktik mengajar yang tak nyata. 

Karenanya, rekomendasi untuk paradigma baru sertifikasi harus berorientasi pada peningkatan praktik mengajar, bukan sekadar syarat administratif. 

Jika tidak, sertifikasi sebaiknya dihitung langsung dalam gaji guru sebagai hak yang diterima setiap bulan, agar semua guru memiliki kesempatan yang sama, dan bergerak bersama untuk mengapai kualitas. 

Tanpa membedakan guru bersertifikasi dan non sertifikasi.  Dan pada akhirnya, setelah dua puluh tahun berjalan, sertifikasi guru berada di persimpangan jalan. 

Ia telah memberi legitimasi dan insentif pada profesi guru, tetapi belum menyentuh jantung dari krisis pembelajaran itu sendiri. Belum berdampak pada kualitas proses dan hasil belajar siswa-siswi. 

Jika ini tidak dipikir ulang secara serius, kebijakan ini hanya menjadi rutinitas tanpa arti. 

Maka, pertanyaan serius yang harus terus menerus diulang: Ke mana Sertifikasi Guru di saat Indonesia mengalami krisis pembelajaran? (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved