Opini
Opini: Dua Dekade Sertifikasi Guru dan Krisis Pembelajaran
Sertifikasi guru hanya sebatas syarat administratif, bukan transformasi pendidikan bermutu yang hendak dituju.
Oleh: Yahya Ado
Mahasiswa Program Doktoral, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya, Anggota Forum Akademia NTT
POS-KUPANG.COM - Kebijakan Sertifikasi Guru kini memasuki dua dekade. Secara resmi Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mulai diterapkan sejak tahun 2006.
Tujuannya mulia: memperkuat profesionalisme dan kompetensi guru, dan pada gilirannya meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa krisis pembelajaran justru belum berhasil diatasi.
Maka dua puluh tahun berjalan ini, kita butuh pikiran kritis, apakah sertifikasi guru benar-benar menjadi solusi sesuai tujuannya, atau sekedar memenuhi kesenangan dua juta guru yang tersertifikasi.
Baca juga: BREAKING NEWS: Kasus Dana Sertifikasi Guru di Sikka, Jaksa akan Tetapkan Tersangka Sore ini
Sertifikasi awal mulanya diharapkan menjadi instrumen peningkatan mutu guru secara komprehensif.
Kerangka dasar kebijakan tersebut mengharapkan guru harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani rohani, kesejahteraan, dan memiliki kemampuan mewujudkan misi utama pendidikan nasional yang berkualitas dan merata untuk semua.
Namun dalam pelaksanaannya, sertifikasi lebih identik sebagai pintu masuk tunjangan profesi, bahkan dianggap sekadar insentif atau hadiah, bukan sebagai mekanisme pengembangan mutu pengajaran.
Sertifikasi guru hanya sebatas syarat administratif, bukan transformasi pendidikan bermutu yang hendak dituju.
Krisis Pembelajaran yang Belum Tersentuh
Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 70 dari 80 negara. Rata-rata nilai literasi numerasi sebesar 359 poin.
Bahkan, 82 persen peserta didik berada di bawah level kompetensi minimum.
Laporan Bank Dunia bahkan menyebut Indonesia sedang mengalami “learning crisis” siswa bersekolah tetapi tidak mendapatkan hasil belajar yang bermakna.
Sertifikasi ternyata tidak secara otomatis mengubah pola ajar, memperkuat pedagogi, atau menumbuhkan refleksi kritis guru.
Hal tersebut menunjukkan bahwa profesionalisme sejati memerlukan lebih dari sekadar sertifikat dan uang.
Butuh pendampingan serius soal cara belajar dan pemahaman mendalam (deep learning).
Sebab setiap manusia memiliki keunikan dan perbedaan gaya belajar.
Kita perlu menelaah ulang sertifikasi untuk merespons rendahnya kualitas guru dan pemenuhan kompetensi.
Ditambah lagi konteks krisis pembelajaran hari ini yang jauh lebih kompleks.
Tantangan digital dengan perkembangan Artificial Intelegency (AI), ketimpangan antar daerah, dan perubahan paradigma kurikulum yang terus berubah seturut kepentingan politik lima tahunan menjadi jurang serius yang terus mengangga.
Lebih jauh, kebijakan sertifikasi digerakkan oleh instrumen hukum dan pendanaan yang sangat besar.
Pada tahun 2024 saja, sejumlah 56 triliun untuk anggaran sertifikasi guru, dan meningkat 26,7 persen atau menjadi 70 triliun di tahun 2025.
Sayangnya, tidak ada prasyarat praktik mengajar atau bukti dampak pembelajaran (learning impact) sebagai syarat menerima tunjangan.
Begitu juga dengan sistem pendampingan pascasertifikasi. Justru yang diubah hanya sekedar syarat administratif.
Misalnya jumlah jam mengajar, mekanisme pembayaran, dan bukan esensi pembelajaran itu sendiri.
Meski model pelaksanaan berubah dari waktu ke waktu. Mulai dari portofolio ke PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru), lalu saat ini ke PPG (Pendidikan Profesi Guru).
Namun begitu, pelatihan guru umumnya kurang menekankan praktik belajar di ruang pembelajran dan proses refleksi.
Banyak peserta sekadar lulus secara administrasi untuk memenuhi angka kauntitatif, tanpa perubahan pola mengajar (mindset) yang terbuka (growth) untuk meningkatkan kualitas.
Alhasil, sertifikasi lebih bersifat simbolik dan tanda jasa. Guru tersertifikasi dianggap sebagai guru profesional.
Padahal studi Kemdikbudristek (2022) menemukan tidak ada korelasi langsung antara status sertifikasi dan hasil belajar siswa di Asesmen Nasional (AN) atau Ujian Nasional (UN).
Reorientasi Sertifikasi Guru
Melihat ulang tujuan dan dampaknya, dan jika tidak segera direformulasi, sertifikasi guru hanya akan menjadi kebijakan penggugur kewajiban. Kita butuh reorientasi sertifikasi guru ke hasil belajar siswa.
Tunjangan dan status profesional sebaiknya berbasis bukti praktik pembelajaran yang berdampak, serta integrasi dengan pengembangan profesi berkelanjutan (PKB).
Sertifikasi harus diikuti pelatihan berbasis kelas, mentoring, supervisi, dan refleksi pedagogi yang holistik.
Kita perlu gunakan data Rapor Pendidikan dan hasil AN/UN setiap tahun untuk menilai efektivitas guru pascasertifikasi.
Ini penting untuk melihat hasil sertifikasi kepada dampak pembelajaran. Pun butuh keadilan antar daerah.
Perlu ada afirmasi dan pendampingan bagi guru sertifikasi agar kebijakan ini tidak menjadi pemicu ketimpangan di dunia pendidikan baru.
Kebijakan sertifikasi guru adalah upaya akbar yang tak boleh dibuang. Tetapi juga tak bisa dipertahankan dalam bentuknya sekarang.
Kita harus fokuskan kebijakan ini untuk memampukan guru menjawab krisis pembelajaran, tidak sekadar mengalihkan perhatian dari perubahan praktik mengajar yang tak nyata.
Karenanya, rekomendasi untuk paradigma baru sertifikasi harus berorientasi pada peningkatan praktik mengajar, bukan sekadar syarat administratif.
Jika tidak, sertifikasi sebaiknya dihitung langsung dalam gaji guru sebagai hak yang diterima setiap bulan, agar semua guru memiliki kesempatan yang sama, dan bergerak bersama untuk mengapai kualitas.
Tanpa membedakan guru bersertifikasi dan non sertifikasi. Dan pada akhirnya, setelah dua puluh tahun berjalan, sertifikasi guru berada di persimpangan jalan.
Ia telah memberi legitimasi dan insentif pada profesi guru, tetapi belum menyentuh jantung dari krisis pembelajaran itu sendiri. Belum berdampak pada kualitas proses dan hasil belajar siswa-siswi.
Jika ini tidak dipikir ulang secara serius, kebijakan ini hanya menjadi rutinitas tanpa arti.
Maka, pertanyaan serius yang harus terus menerus diulang: Ke mana Sertifikasi Guru di saat Indonesia mengalami krisis pembelajaran? (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.