Liputan Khusus

LIPSUS: TTS Kekurangan Alat Diagnosa TBC, Lonjakan Kasus Semakin Mengkhawatirkan

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten TTS, dr. RA Karolina Tahun menjelaskan jumlah kasus Tuberkulosis (TBC) meningkat dari Januari hingga Juli

|
POS-KUPANG.COM/AGUSTINUS TANGGUR
SKARINING - Lapas Kelas IIB Atambua melakukan skrining rutin penyakit menular, termasuk Tuberkulosis (TBC) bagi WB di Aula Lapas Atambua, bekerja sama dengan Puskesmas Atambua Selatan (Atsel), Sabtu (10/5/2025). 

POS-KUPANG.COM, SOE - Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dr. R. A. Karolina Tahun menjelaskan jumlah kasus Tuberkulosis (TBC) meningkat dari Januari sampai Juli 2025. 

Salah satu kendala penanganan TBC di TTS yaitu alat diagnosa cepat TBC hanya enam. Hal ini  menyulitkan untuk menjangkau semua wilayah. 

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten TTS, kasus TBC pada tahun 2021 sebanyak 321 kasus. Naik menjadi 574 pada tahun 2022, terus meningkat menjadi 633 tahun 2023.

Tambahan 14 kasus di tahun 2024 menjadi 647. Hingga Juli 2025 kasus TBC di TTS di angka 426.

"Untuk proses penanganan empat tahun terakhir, kami gencar melakukan skrining penemuan terduga dengan target yang ditetapkan secara masif, dan merata agar menemukan kasus pengobatan tuntas, sehingga dapat memuruskan rantai  TBC," jelasnya pada Jumat (8/8). 

RABIES - Kepala Dinas Kesehatan TTS, dr. Karolina Tahun ketika diwawancarai POS-KUPANG.COM  Kamis (24/4/2025), terkait kasus rabies di TTS.
RABIES - Kepala Dinas Kesehatan TTS, dr. Karolina Tahun ketika diwawancarai POS-KUPANG.COM Kamis (24/4/2025), terkait kasus rabies di TTS. (POS-KUPANG.COM/MARIA VIANEY GOKOK)

Ia menjelaskan penanganan TBC meliputi tiga tahap yaitu skrining penemuan secara tinggi dan merata, investigasi kontak penderita dengan orang terdekat dan pemberian terapi pencegahan (TPT).

"TPT diberikan dalam bentuk obat yang diminum secara teratur tujuannya untuk membunuh bakteri TBC yang mungkin sudah ada dalam tubuh namun belum aktif," jelasnya. 

Dengan kasus yang terus meningkat ini, dr. Karolina menyebutkan kendala yang dihadapi di lapangan yaitu rendahnya dukungan orang sekitar kepada penderita yang rendah. 

"Upaya skrining yang belum maksimal, karena itu  perlu menjadi perhatian semua pihak, terutama dukungan keluarga pasien. Adapun TPT juga belum bisa berjalan sesuai harapan, karena keterbatasan obat TPT, sehingga belum bisa mengakomodir semua kontak orang terdekat penderita, " jelasnya. 

Menurutnya untuk memutuskan rantai penularan melalui TPT juga terkendala karena penderita merasa sehat dan enggan minum obat. Selain itu stigma yang berkembang di masyarakat, serta peralatan penentuan diagnosa cepat, hanya tersedia di enam lokasi center wilayah. 

"Peralatan penentuan diagnosa menggunakan alat test cepat molekuler atau TCM, di TTS hanya ada di 6 lokasi yang menjadi center wilayah, sehingga untuk kasus TBC dengan luas wilayah dan akses masih menjadi kendala untuk transportasi specimen, "ungkapnya.

Untuk ketersediaan obat TBC, dr. Karolina menjelaskan mendapat suplai dari pusat lewat propinsi sehingga sejauh ini masih memenuhi kebutuhan di Kabupaten TTS.

Adapun untuk satgas penanganan TBC, dr. Karolina menjelaskan satgas tersebut bergabung dalam satgas ATM (AIDS- Tuberculosis- Malaria). Satgas ini memiliki target eliminasi ATM di tahun 2030. 

"Dengan keterbatasan anggaran yang ada, kami berupaya meningkatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) bagi masyarakat tentang TBC, " jelasnya. Ia juga berharap melalui program cek kesehatan gratis (CKG), masyarakat juga dapat mengecek status kesehatannya secara mandiri. 

Sementara di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), penyakit TBC mencapai 220 kasus pada hingga 4 Agustus 2025.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten TTU, Robertus Tjeunfin, data tersebut baru terangkum 30 persen dari total perkiraan 90 persen atau 725 kasus.

Baca juga: Dinas Kesehatan Ngada Terus Skrining TBC, Sudah 71 Kasus yang Ditangani

Dalam upaya menanggulangi kasus tersebut, langkah yang wajib ditempuh seperti screening (ditempat beresiko, orang dengan HIV/AIDS, Diabetes Melitus, gizi buruk, lansia), edukasi dan sosialisasi tentang penyakit TBC.

"Kita juga melakukan investigasi kontak pasien TBC tiga tahun terakhir dan menguatkan kerja sama dengan lintas sektor," ujarnya.

Sejauh ini, Dinas Kesehatan Kabupaten TTU telah melakukan sosialisasi bahaya penyakit TBC dan screening Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) di 26 puskesmas di Kabupaten TTU.

Selain itu, mereka juga memberikan pengobatan kepada pasien sampai sembuh dan menginvestigasi kontak erat pasien TBC

Ia menjelaskan, sejauh ini ketersediaan obat dan vaksin serta logistik belum memadai.Tersedia Cartridge 1400 yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK),  Prop TBC sebanyak 250.

Obat tersebut tersedia di RSUD Kefamenanu dan Wini. Selain itu tersedia Pot Sputum 6135 dan Tuberkulin sebanyak 68 vial.  

*Penguatan Desa Siaga

Pemerintah Kabupaten Belu melalui Dinas Kesehatan terus mengintensifkan langkah menuju eliminasi Tuberkulosis (TBC) dengan menggelar deteksi dini lewat program Active Case Finding (ACF) dan penguatan desa/kelurahan Siaga TBC.

Hingga Juni 2025, tercatat 209 kasus TBC di Kabupaten Belu. Angka ini baru memenuhi sekitar 25,6 persen dari target penemuan kasus tahun ini yang ditetapkan sebesar 817 kasus, sehingga masih terdapat kesenjangan sekitar 608 kasus atau 74,4 persen.

Kecamatan Kota Atambua mencatat kasus tertinggi (38 kasus), sementara Kecamatan Lamaknen terendah (3 kasus).

Pada 29 Juli 2025 lalu, sebanyak 100 warga Kelurahan Fatubenao menjalani pemeriksaan kontak erat penderita TBC menggunakan portable X-ray. Layanan ini dilengkapi dengan pemeriksaan gejala, pengambilan sampel dahak, dan edukasi tentang bahaya serta penanganan TBC.

Baca juga: LIPSUS: Ibunda Prada Lucky Berlutut Depan Pangdam IX Udayana Piek Budyakto

“TBC bukan penyakit kutukan, bukan guna-guna, dan bukan penyakit keturunan. Ini penyakit menular yang bisa disembuhkan jika dideteksi dini dan diobati tepat,” tegas Asisten Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Setda Belu, Marsi Loe

Marsi Loe juga menyebutkan, ini adalah kali pertama layanan rontgen gratis dengan portable X-ray dilakukan langsung di tingkat kelurahan, dan Pemda berkomitmen memperluas jangkauan ke wilayah dengan beban kasus tinggi.

Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu, dr. Elen Corputty menekankan pentingnya peran aktif masyarakat, tenaga kesehatan, dan perangkat desa dalam program ini.

“Melalui program ini, kita ingin mewujudkan desa dan kelurahan yang sehat, bebas TBC, dan mampu menjaga kesehatan masyarakat secara berkelanjutan. Target eliminasi TBC nasional pada 2030 harus kita capai,” ujarnya.

Di Kabupaten Flores Timur, ada ratusan warga mengidap penyakit TBC. Penyakit ini menular dengan cepat dan menyebar lewat udara atau dekat dengan penderita TBC.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Flores Timur, Sudirman Kia, mengatakan penyakit TBC tercatat sebanyak 145 orang. Angka kasus ini didata sejak Januari sampai Juni 2025.

Sudirman Kia menuturkan, dalam tahun 2025 ini, pihaknya diarahkan untuk menemukan 999 penderita TBC. Target yang butuh kerja ekstra petugas lapangan.

Dalam enam bulan, dinas ini baru menemukan 145 atau 14,5 persen. Suspek orang yang dicurigai mengidap TBC harus diperiksa. Terhadap hal ini, target suspek ada 4.857, namun pihaknya baru menjangkau 1.884 atau 38,79 persen.

Upaya memutus mata rantai penyebaran TBC terus dilakukan. Daerah ini hanya memiliki lima alat Tes Cepat Molekuler TCM).

Alat diagnosis penyakit TBC itu tersebar di Puskesmas Boru, Puskesmas Ritaebang, Puskesmas Waiwerang, Puskesmas Lambunga, dan RSUD Larantuka.

"Untuk penanganan, kita lakukan pemeriksaan terhadap suspek dulu, kemudian penegakkan diagnose. Setelah itu baru kita lakukan proses pengobatan. Di dalam proses pengonatan juga ada pengawas obat, biasanya oleh petugas kesehatan," kata Sudirman, Sabtu (9/8).

Sudirman menuturkan, fasilitas kesehatan yang punya TCM akan menjadi rujukan sampel bagi puskesmas-puskesmas terdekat. Jumlah puskesmas di wilayah kepulauan itu 21 dan tersebar di 19 kecamatan.

"Sehingga puskesmas-puskesmas yang punya TCM menjadi rujukan sampel," ucapnya.

*9 Orang Meninggal 

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, drg Tommy Hermopan, menyampaikan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Manggarai mencatat sebanyak 289 orang menderita tuberculosis atau TB. 

Tommy menerangkan, jumlah temuan warga yang menderita TB sebanyak 289 orang. Jumlah ini termasuk warga di luar Kabupaten Manggarai.

Sedangkan khusus, Kabupaten Manggarai sebanyak 229 orang yang tercatat menderita TB terhitung sejak Januari hingga Juli 2025. Dari jumlah tersebut, 9 orang di antaranya meninggal dunia. 

Tommy menerangkan, ada kasus kematian ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti terlambat melakukan pengobatan, tidak melaporkan kasus ini dan lain sebagainya. 

Baca juga: Penderita HIV/AIDS di Sumba Timur Capai 275 Orang dalam Lima Tahun

Dikatakan Tommy, dalam rangka menekan kasus ini, Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai melakukan screaning saat ini sudah 3.072 orang.

Selain itu, Dinas Kesehatan juga melakukan Investigasi kepada 500 lebih orang yang kontak erat dengan penderita TBC dan juga melakukan pengobatan kepada para penderita TBC

Ditanya terkait fasilitas dan sarana prasarana pendukung, Kata Tommy, semua tersediah. Ada dua alat test cepat molekuler (TCM) yang ada di RSUD Ruteng dan Puskesmas Reo. 

Kepala Dinas Kesehatan Sumba Barat, drg.Bonar B.Sinaga mengatakan pada tahun 2025 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 317.060.000 untuk penanganan pasien penderita tuberkulosis (TB).

Dana sebesar itu diperuntukan  pengadaan bahan medis  habis pakai  (BMHP) catritdge  tes cepat mokuler (TCM) sebesar Rp 297.060.200 dan giat pertemuan dan lainnya sebesar Rp 20.000.000 atau total Rp 317.060.200.

Hingga Juli 2025 terdapat 269 pasien tuberkulosis yang menjalani pengobatan yang tersebar dibeberapa Puskesmas dan RSUD Waikabubak.

Sementara Kepala  Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kabid P2P) Dinas Kesehatan Sumba Timur, Novri Kilimandu, mengatakan, kasus tuberkulosis (TBC) itu bukan penyakit keturunan atau penyakit guna-guna, dan juga bukan aib.

Penyakit TBC sama seperti penyakit pada umumnya yang dapat disembuhkan dengan rutin minum obat sampai tuntas.

“Masyarakat perlu mengetahui tentang penyakit ini. TBC itu bukan penyakit keturunan, atau penyakit guna-guna, bukan aib. Penyakit TBC sama seperti penyakit pada umumnya, dapat disembuhkan asalkan minum obat sampai tuntas,” katanya, Jumat (8/8).

Baca juga: Tembus 220 Kasus, DPRD TTU Minta Pemerintah Ambil Tindakan Atasi Penyakit TBC

Novri mengatakan, masyarakat juga perlu tahu bahwa saat ini ada terapi pencegahan TBC. Jika merasa pernah berkontak dengan pasien TBC, maka wajib dilakukan pemeriksaan di fasilitas kesehatan terdekat.

Sebagai informasi, jumlah kasus tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Sumba Timur hingga 8 Agustus 2025 sebanyak 311 kasus. Angka kasus ini menurun dibandingkan tahun 2024 yang mencapai 375 kasus. Namun, masih tersisa empat bulan lagi di tahun 2025. Kasus berpotensi bertambah.

Kasus tuberkulosis di Sumba Timur menunjukan fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2022 tercatat 390 kasus. Meningkat menjadi 459 kasus pada 2023, dan menurun menjadi 375 kasus pada 2024.

Sementara itu, jumlah kasus Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB) pada 2024 sebanyak 92 kasus, sedangkan pada 2025 hingga 8 Agustus mencapai 54 kasus. 

Novri mengatakan, penyakit tuberkulosis menginfeksi semua umur. Baik bayi, anak-anak, hingga dewasa.

Tetapi yang lebih rentan terinfeksi tuberkulosis adalah anak-anak karena kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna. Juga pada lansia.

Novri menjelaskan sejumlah tantangan dalam menangani kasus tuberkulosis di Sumba Timur seperti masih ada pasien yang mangkir dari pengobatan atau putus berobat yang berakibat menjadi sumber infeksi di masyarakat.

Kemudian, pelaksanaan skrining (pemeriksaan) itu di masyarakat belum dilakukan secara optimal. 

Sementara itu, untuk ketersediaan logistik mengenai penanganan TBC baik berupa obat atau bahan pendukung lainnya sudah tersedia dengan baik. Seperti obat kategori I, obat kategori anak, obat TBC lepasan maupun obat terapi pencegahan.

Baca juga: 229 Warga Manggarai Penderita TBC, 9 Orang Meninggal Dunia

Untuk membantu penanganan TBC, saat ini dinas kesehatan juga sudah menempatkan kader di sejumlah kecamatan.“Beberapa kecamatan ada kader TBC yang membantu puskesmas dalam penanganan TBC. Serta di tahun 2023 dan 2024 ada komunitas yang membantu penanganan TBC yaitu CD Bethesda khususnya di Kecamatan Rindi dan Kecamatan Lewa Tidahu,” ungkapnya. (any/bbr/gus/cbl/rob/dim/pet)

*Capaian Pemeriksaan Baru 30 Persen

DINAS Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengajak masyarakat agar melakukan pemeriksaan rutin terhadap penyakit Tuberkulosis atau TB. 

Kepala Dinas Kesehatan NTT, drg Iien Adriany mengatakan, sejauh ini penanganan TB di NTT selalu dilakukan. Biasanya, setiap ada kasus TB dilakukan pemeriksaan pada orang yang melakukan kontak erat. 

"Kita belum mencapai target. Kita sedang rancang untuk membuat pemeriksaan masal," katanya, Minggu (10/8).  Artinya, setiap pasien yang positif maka dilakukan penelusuran dan pemeriksaan. Sebab, TB merupakan penyakit yang menularnya cukup cepat. 

Kepala Dinas DP3A Provinsi NTT, drg. Lien Adryani M. Kes
Kepala Dinas DP3A Provinsi NTT, drg. Lien Adryani M. Kes (Keterangan foto: Irfan Hoi/ K)

Dia mengatakan, siapapun yang pernah melakukan kontak erat dengan pasien maka dilakukan pemeriksaan. Termasuk ada upaya pengobatan. Semua pusat kesehatan telah tersedia obat-obatan. 

"Jangan sampai tersebar luar. Kalau ditemukan ya diobati karena obatnya tersedia. Semua ada," katanya. 

Dia mengku target tahun ini adalah 50 persen untuk melakukan pemeriksaan dari total kasus yang ada. Sementara hingga pertengahan tahun ini capaian pemeriksaan baru diangka 30 persen. 

Ia menyebut kendala utama dari keterlambatan pencapaian pemeriksaan itu karena keengganan orang untuk melakukan pemeriksaan. Padahal peluang penularan cukup besar.

Baca juga: Deteksi Dini TBC, Pemkab Belu Gunakan Portable X-ray dan Perkuat Desa Siaga

Untuk itu pihaknya mengajak masyarakat untuk bisa melakukan pemeriksaan, karena ada obat yang bisa digunakan untuk pengobatan. 

“Masyarakat tidak perlu takut. Biasanya pengobatan rutin dilakukan selama enam bulan. Ini tidak mudah orang mau diperiksa. Ini kan tindakan pencegahan. TB ini ada aspek lain, ketika orang TB itu dijauhi, padahal tidak perlu takut, ada obatnya," katanya. (fan)

*Tes Massal untuk TB

Wakil Ketua Komisi V DPRD NTT Agus Nahak menyebut saat ini Dinas Kesehatan (Dinkes) sedang melakukan persiapan untuk melakukan tes masal pada penyakit Tuberkulosis atau TB. 

Politikus Golkar itu mengatakan,  pihaknya sudah melakukan rapat bersama Dinkes, termasuk pembahasan mengenai anggaran. "TB ini penyakit menular. Ternyata Dinas lagi persiapan tes masal. Itu bagus sekali," katanya, Minggu (10/8). 

Agus mengatakan, tes masal itu akan menyasar pada setiap orang yang pernah berhubungan langsung atau berpeluang ditularkan oleh pasien TB. Itu dilakukan untuk melakukan pencegahan penularan lebih luas. 

DPRD NTT - Wakil Ketua DPRD NTT Agus Nahak saat diwawancarai di ruang kerjanya terkait penanganan kasus Tuberkolosis di NTT.
DPRD NTT - Wakil Ketua DPRD NTT Agus Nahak saat diwawancarai di ruang kerjanya terkait penanganan kasus Tuberkolosis di NTT. (POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI)

Dia menyebut, arahan Gubernur NTT ke Dinkes agar dilakukan kegiatan ini secara masif. Dengan begitu maka ada mitigasi sejak dini. Penjelasan Dinkes, kata dia, tes itu mencakup orang yang pernah berkontak dengan penderita. 

"Ini baik sekali. Selama ini kan siapa yang sakit, selesai saja. Tapi sekarang, siapa yang kena TB, lingkungan sekitar di tes," katanya. 

Agus mengatakan, selama ini tes tidak dilakukan tes masal sehingga anggaran juga cukup rendah. Dengan tes masal ini maka perlu dukungan anggaran. DPRD telah memberikan persetujuan agar ada anggaran lebih besar. 

Menurut Agus, itu merupakan hal bagus oleh Dinkes. Sebab, tes massal akan menemukan lebih cepat dan ada pengobatan lebih dini. Tes itu juga untuk memastikan setiap warga terbebas dari TB. 

Baca juga: LIPSUS: Obat AIDS Sering Kosong di NTT, Ridho Herewila Layani ODHIV dengan Kasih 

Agus mengajak masyarakat untuk tidak takut dan malu melakukan tes TB. Upaya itu dilakukan untuk melindungi semua orang dari potensi penularan TB.

"TB itu bukan penyakit memalukan. Tidak usah malu untuk datang tes. Lebih baik datang tes, kita sayang keluarga, kita datang tes itu artinya kita peduli sesama," ujarnya. 

Dia mendorong Dinkes NTT maupun Kabupaten/Kota agat segera mungkin melakukan tes masal. Termasuk tes pada warga hingga daerah pelosok.

"Secepatnya kalau bisa dilakukan. Tes hingga ke daerah-daerah pelosok. Kita jemput bola," sambung dia. 

Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten TTS, Relygius L. Usfunan, SH, menyebutkan, persoalan utama dalam penanganan TBC di Kabupaten TTS dipengaruhi oleh enam faktor utama.

Ada beberapa masalah utama penanganan TBC pertama karena jauhnya fasilitas kesehatan sehingga masyarakat sulit menjangkau faskes untuk berobat.

Adapun biaya mandiri yg dikeluarkan pasien seperti biaya transportasi dan lain lain yang cukup tinggi. 

Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat untuk berobat. Serta periode mengkonsumsi obat yang cukup panjang.

Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten TTS, Religius Usfunan ketika diwawancarai setelah rapat gabungan yang membahas penanganan bencana di TTS, Kamis (15/5/2025)
Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten TTS, Religius Usfunan ketika diwawancarai setelah rapat gabungan yang membahas penanganan bencana di TTS, Kamis (15/5/2025) (POS-KUPANG.COM, MARIA VIANEY GUNU GOKOK)

Persoalan selanjutnya yaitu tidak atau belum ada pengawas minum obat, sehingga pasien tidak mengkonsumsi obat secara teratur. 

“Ini butuh dukungan dari keluarga dan tenaga kesehatan untuk memberikan peringatan terkait mengkonsumsi obat," jelasnya. 

Berdasarkan hal tersebut, Relygius menekankan pentingnya pendataan secara maksimal bagi penderita TBC(fan/any)

 

NEWS ANALISIS
Sekretaris IAKMI Provinsi NTT, Vinsensius Belawa Making : Ancaman Serius 

Penyakit tuberkulosis (TB) masih menjadi ancaman serius di wilayah NTT. Penularan TB yang sangat cepat membuat proses eliminasi penyakit ini sulit dilakukan.

Sejauh ini, upaya menghilangkan TB masih menghadapi tantangan besar. Bahkan kasusnya terus bertambah.

Salah satu pemicu utama sulitnya pemberantasan TB adalah perilaku pengobatan dan pencegahan yang belum optimal.

Banyak pasien positif TB enggan atau tidak rutin minum obat, yang dapat memicu resistensi obat dan berujung pada kematian.

Pakar kesehatan masyarakat Vinsensius Belawa Making,SKM, M.Kes
Pakar kesehatan masyarakat Vinsensius Belawa Making,SKM, M.Kes (ISTIMEWA/POS-KUPANG.COM)


Selain itu, orang yang melakukan kontak langsung dengan penderita TB seharusnya mengonsumsi obat pencegahan, namun hal ini jarang dilakukan.

TB dapat muncul saat daya tahan tubuh menurun.

Baca juga: LIPSUS: Kucurkan Rp 1,6 Triliun, Rote Ndao Jadi Sentra Produksi Garam Nasional

Siapa pun yang mengalami batuk lebih dari dua minggu sebaiknya segera memeriksakan dahaknya. Skrining awal sangat penting untuk penyembuhan dan mencegah penularan lebih lanjut.

Faktor budaya berpotensi mempercepat penularan TB di NTT, seperti kebiasaan minum bersama dari satu wadah atau gelas, mengunyah sirih, dan tradisi "cium sabu" yang melibatkan kontak dekat antarwajah.

Saya berharap masyarakat lebih sadar akan pentingnya deteksi dini dan disiplin pengobatan, agar TB tidak terus menjadi ancaman kesehatan di NTT. (ray)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved