Opini
Opini: Bendera Bajak Laut Menantang Negara
Jolly Roger, yang dalam kisah One Piece menjadi lambang kru Topi Jerami, bukan sekadar ikon hiburan.
Habermas mengingatkan bahwa rasionalitas demokrasi hanya dapat hidup jika warga memiliki ruang untuk berdialog secara setara.
Namun, ruang-ruang itu kini dikuasai oleh media dan algoritma yang lebih mengutamakan apa yang menarik perhatian ketimbang apa yang masuk akal.
Dalam situasi ini, bendera bajak laut adalah perlawanan visual yang lahir dari frustrasi warga terhadap hilangnya ruang deliberasi yang otentik.
Ketika pemerintah merespons fenomena ini dengan ancaman hukum tanpa membuka dialog, mereka hanya memperkuat kesan bahwa negara telah kehilangan bahasa yang dimengerti rakyat.
Mediatisasi membuat protes ini semakin resonan, karena setiap larangan yang diumumkan justru memperbesar gaung simbol tersebut di ruang publik. Inilah paradoks demokrasi yang dimediasi media.
Negara yang Belajar dari Simbol
Fenomena bendera bajak laut seharusnya dibaca bukan sebagai ancaman yang harus dibungkam, tetapi sebagai peringatan bagi negara.
Negara perlu menyadari bahwa di era mediatisasi, komunikasi politik tidak lagi dapat dipisahkan dari simbol, emosi, dan persepsi publik.
Mengabaikan hal ini sama saja dengan menolak membaca bahasa baru demokrasi.
Pertama, pemerintah harus membuka ruang dialog publik yang sejati, bukan sekadar prosedur konsultasi yang formalistik.
Kedua, birokrasi harus belajar membangun komunikasi yang resonan dengan masyarakat, menggabungkan rasionalitas administratif dengan sensitivitas kultural.
Ketiga, media harus dipandang sebagai mitra deliberasi, bukan hanya arena pertarungan citra yang semakin menjauhkan rakyat dari kebijakan.
Hannah Arendt, filsuf politik yang dikenal melalui karyanya The Human Condition, pernah menulis, Power arises when people act in concert, not in isolation.
Bagi Arendt, kekuasaan sejati tidak lahir dari paksaan atau dominasi, melainkan dari kemampuan negara dan rakyat untuk bertindak bersama dalam ruang publik yang inklusif.
Jika negara gagal menafsirkan simbol bendera bajak laut sebagai undangan untuk bertindak bersama rakyatnya, maka jurang politik akan semakin melebar dan demokrasi akan semakin terjebak dalam logika konflik simbolik.
Sebaliknya, jika negara mau belajar membaca tanda, mendengar keresahan publik, dan membuka ruang dialog yang sejati, maka mungkin dari bendera bajak laut inilah lahir peluang untuk memulihkan demokrasi yang telah dimediasi media. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.