Opini

Opini: Ketika Komodo Disandera Kapital

Beginilah kisah Ketika Komodo bukan sekadar satwa purba, melainkan sandera dalam drama kapitalisme pariwisata.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI APRIANUS P TABOEN
Aprianus Paskalius Taboen 

Oleh: Aprianus Paskalius Taboen, S.Pd., M.Si
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang

POS-KUPANG.COM - Ada pepatah bilang, “Di mana ada gula, di situ ada semut.”  Tapi di Taman Nasional Komodo, pepatahnya bisa jadi, “Di mana ada komodo, di situ ada investor.” 

Ironisnya, yang datang bukan hanya untuk melihat, tapi juga untuk “menggigit” ruang hidup masyarakat adat. 

Beginilah kisah Ketika Komodo bukan sekadar satwa purba, melainkan sandera dalam drama kapitalisme pariwisata.

Taman Nasional Komodo (TNK) di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, bukan sekadar destinasi wisata kelas dunia. 

Baca juga: Masyarakat Menggarai Barat Minta PT KWE Keluar dari Taman Nasional Komodo

Ia adalah rumah bagi satwa purba Varanus komodoensis yang hanya dapat ditemukan di wilayah ini, sekaligus ruang hidup masyarakat adat yang telah berabadabad berinteraksi dengan ekosistem sekitarnya.

Kontroversi mencuat ketika PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) mendapatkan mendapatkan izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA) seluas 274,13 hektare di Pulau Padar melalui SK Menteri Kehutanan No. SK.796/Menhut-II/2014. 

Walaupun pihak perusahaan dan pemerintah menyebut pembangunan hanya akan memanfaatkan sekitar 15,375 hektare (5,64 persen dari total izin), gelombang penolakan publik tetap deras. 

Dari perspektif sosiologi, kasus ini memperlihatkan ketegangan klasik antara logika kapitalisme pariwisata dengan nilai ekologis dan
hak masyarakat adat.

Relasi Kuasa dalam Ruang Konservasi

Dalam kacamata sosiologi lingkungan, konflik yang muncul di TNK bukan hanya soal pembangunan fisik, melainkan juga perebutan makna dan otoritas atas ruang konservasi. 

Negara, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memegang legitimasi hukum untuk memberi izin investasi. 

Di sisi lain, masyarakat adat atau komunitas lokal Labuan Bajo merasa sebagai pewaris kultural yang sah atas wilayah tersebut. 

Ketika izin keluar tanpa keterlibatan penuh masyarakat, yang tampak adalah reproduksi ketidakadilan struktural yakni keputusan politikekonomi lebih berpihak pada kepentingan modal ketimbang partisipasi warga.

Sosiolog Anthony Giddens menyebut fenomena ini sebagai disembedding, yaitu keterputusan antara kebijakan formal dengan praktik sosial masyarakat sehari-hari. 

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved