Opini

Lil Au Nol Dael Banan : Filsafat Pendidikan dari Kota Kasih

Dalam pandangan orang Timor, membangun apa pun rumah, kota, bangsa, bahkan manusia tidak boleh dilepaskan dari hati yang tulus.

|
Editor: Sipri Seko
POS-KUPANG.COM/HO
Gracia Marianne Nafsindha Otta 

Oleh: Gracia Marianne Nafsindha Otta*

POS-KUPANG.COM - Dunia pendidikan hari ini sedang menghadapi krisis kemanusiaan. Di tengah laju kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan, manusia memang semakin cerdas berpikir, tetapi kian miskin rasa. Sekolah berubah menjadi pabrik nilai, sertifikat dan ijazah.

Guru dan dosen terkesan sibuk dengan administrasi tanpa empati. Peserta didik kehilangan arah spiritual dalam belajar. Pendidikan melaju cepat, namun kehilangan kompas moral. Kita seakan sedang mendidik manusia yang cerdas otaknya, tetapi hampa hatinya.

Dari ujung timur Nusantara, dari tanah yang pertama disinari mentari, lahir sebuah semboyan sederhana namun sarat makna: Lil Au Nol Dael Banan “Bangunlah Aku dengan Hati yang Tulus.”

Motto Kota Kupang ini bukan sekadar slogan pemerintahan, melainkan falsafah hidup masyarakat Timor yang menempatkan ketulusan dan kejujuran sebagai dasar setiap tindakan. Dalam pandangan orang Timor, membangun apa pun rumah, kota, bangsa, bahkan manusia tidak boleh dilepaskan dari hati yang tulus.

Jika semboyan ini dibaca dalam kerangka filsafat pendidikan, maka Lil Au Nol Dael Banan menjadi ajaran mendalam tentang hakikat pendidikan sejati: bahwa pendidikan harus dimulai dari hati, bukan dari ambisi; dari kasih, bukan dari kuasa.

 Pendidikan yang lahir dari hati akan melahirkan manusia yang berjiwa merdeka, beretika, dan berempati. Sebaliknya, pendidikan yang kehilangan hati hanya akan melahirkan manusia pandai tetapi dingin, unggul tetapi kehilangan arah moral.

Filsafat Lil Au Nol Dael Banan bergema selaras dengan pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) yang menolak pendidikan gaya “bank”, ketika guru hanya menabungkan pengetahuan kepada murid.

 Bagi Freire, pendidikan sejati adalah dialog yang membebaskan dan menyadarkan manusia tentang realitasnya. Guru dan murid sama-sama belajar dalam hubungan yang penuh kasih dan kepercayaan. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang lahir dari cinta dan ketulusan prinsip yang hidup dalam semboyan Lil Au Nol Dael Banan.

Nel Noddings (1984) dalam filsafat Caring menegaskan bahwa inti pendidikan adalah kepedulian. Pendidikan tanpa kasih hanyalah transmisi informasi. Guru tanpa empati hanyalah instruktur, bukan pendidik.

Seorang guru yang hadir dengan hati tulus menumbuhkan rasa aman dan kepercayaan diri pada muridnya. Nilai ini hidup dalam budaya Timor: relasi sosial diikat oleh rasa hormat, kebersamaan, dan kasih tanpa syarat.

Demikian pula Ki Hadjar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan adalah “menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Kata menuntun mengandung makna kasih, bukan kuasa.

Guru bukan penguasa pengetahuan, tetapi penuntun kehidupan. Filosofi ini bersenyawa dengan makna terdalam Lil Au Nol Dael Banan: membangun manusia dengan keikhlasan dan cinta, bukan dengan paksaan atau ambisi.

Kota Kupang, dengan keberagaman etnis dan agama, menjadi ruang ideal bagi pendidikan yang berjiwa Lil Au Nol Dael Banan. Sekolah-sekolah di Kupang adalah miniatur Indonesia Timur, tempat nilai multikultural tumbuh bersama.

Namun keragaman ini menuntut dasar moral yang kuat agar pendidikan tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menumbuhkan toleransi. Motto kota ini dapat menjadi ruh pendidikan multikultural, mengajarkan bahwa memahami perbedaan harus dimulai dari hati yang tulus.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved