Opini
Opini: Abolisi Tom Lembong, Antara Keadilan Hukum dan Politik Praktis
Meskipun keputusan ini sah secara hukum, banyak pihak yang mempertanyakan rasionalitas dan transparansi di balik pemberian abolisi.
Keputusan ini membuka ruang bagi penilaian bahwa Presiden mungkin lebih mempertimbangkan keuntungan politik jangka pendek daripada kepentingan hukum jangka panjang, sebuah langkah yang berpotensi mengurangi kredibilitas dalam upaya memerangi korupsi.
Selain itu, langkah ini juga mengurangi keyakinan publik terhadap sistem hukum Indonesia, yang sering dipandang sebagai rapuh dan sering kali tunduk pada pertimbangan politis daripada keadilan substantif.
Selain itu, pegiat antikorupsi juga menyuarakan keprihatinan mereka. Ketua Indonesia Memanggil (IM57+) Lakso Anindito menilai pemberian abolisi kepada terdakwa kasus korupsi seperti Tom Lembong dapat menjadi preseden buruk bagi proses penegakan hukum di Indonesia.
la khawatir bahwa hal ini akan mengurangi efek jera bagi pelaku korupsi dan merusak komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Masyarakat yang telah menyaksikan banyaknya korban ketidakadilan dan dampak negatif dari praktik korupsi, kini melihat bahwa bahkan mereka yang telah terbukti bersalah pun dapat mendapat kelonggaran yang tidak selayaknya mereka terima.
Keputusan ini memunculkan pertanyaan apakah hukum dapat benar-benar ditegakkan tanpa intervensi politik, atau apakah hukum akan selalu dikalahkan oleh politik yang lebih kuat.
Perspektif Politik dan Implikasi Jangka Panjang
Keputusan ini juga tidak lepas dari konteks politik. Tom Lembong sebelumnya dikenal sebagai bagian dari tim pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam Pilpres 2024.
Beberapa pihak melihat pemberian abolisi ini sebagai langkah strategis politik menjelang HUT ke-80 RI, dengan tujuan merajut persatuan di antara semua elemen bangsa.
Pemberian abolisi ini bisa dilihat sebagai sebuah langkah rekonsiliasi politik dengan kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam politik nasional.
Namun, di sisi lain, langkah ini memperlihatkan bahwa politik praktis mungkin lebih dominan dalam pengambilan keputusan daripada mengutamakan prinsip-prinsip hukum yang jelas.
Secara lebih luas, tindakan ini bisa merusak legitimasi dan independensi sistem hukum, karena dikhawatirkan hukum dipandang sebagai alat yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Namun, langkah ini menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi pemerintah dalam menegakkan hukum.
Jika keputusan ini dianggap sebagai bentuk rekonsiliasi politik, maka hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap independensi lembaga hukum dan integritas sistem peradilan di Indonesia.
Apalagi, jika kebijakan semacam ini dibiarkan berlanjut, maka kredibilitas pemerintahan dalam memberantas korupsi bisa dipertanyakan lebih lanjut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.