Opini
Opini: Amnesti, Abolisi untuk Hasto dan Lembong, Runtuhnya Sebuah Hegemoni?
Kedua, dalam kasus Hasto, Hasto sendiri berpendapat bahwa ini adalah sebuah proses hukum yang dipolitisasi.
Oleh: Gabriel Ola
Sekjen PMKRI Cabang Kupang 1994-1995
POS-KUPANG.COM - Tanggal 25 Juli 2025 di Pengadilan Tipikor Jakarta, Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto divonis 3,5 tahun penjara.
Demikian amar putusan yang dibacakan Hakim Rios Rahmanto dalam kasus dugaan suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan serta eks anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina dalam rangka pergantian antar waktu untuk anggota DPR Harun Marsiku dan perintangan penyidikan.
Vonis ini lebih rendah ketimbang tuntutan jaksa yang meminta Hasto dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 600 juta.
Dalam proses siding, Hasto menuding ada tekanan dan kepentingan politik terhadap dirinya.
Baca juga: Hasto Datang Megawati Menangis
Selanjutnya pada 18 Juli 2025 Majelis Hakim Tipikor Jakarta memvonis Tom Lembong 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula.
Tak lama berselang yakni tanggal 30 Juli 2025, Presiden RI Prabowo Subianto mengajukan amnesti dan abolisi bagi Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong untuk mendapat pertimbangan dari DPR.
Tanggal 1 Agustus 2025 Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Surat Keputusan tentang pemberian amnesti dan abolisi untuk Hasto dan Lembong.
Pada tanggal yang sama yakni 1 Agustus 2025 Hasto dan Lembong keluar dari tahananan didampingi oleh kuasa hukum, keluarga dan kerabat dekat.
Tentang kasus hukum yang dialami oleh Hasto hingga pemberian amnesti dan abolisi terhadap 1.116 narapidana teristimewa kepada Hasto dan Lembong memicu perdebatan di ruang publik.
Apa dampak terhadap upaya pemberantasan korupsi, pemberian amnesti dan abolisi apakah bernuansa politis? Dampaknya terhadap hubungan antara Jokowi dengan Presiden Prabowo Subianto hingga pengaruhnya terhadap hubungan antara Megawati dan Presiden Prabowo serta hubungan antara Megawati dengan Jokowi.
Terlepas dari semua perdebatan tersebut di atas penulis ingin memberikan beberapa catatan penting seputar pemberian amnesti dan abolisi untuk Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong.
Pertama, secara yuridis Presiden RI memiliki hak prerogratif untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada para narapidana.
Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi tentu telah mempertimbangkan dari berbagai aspek demi kepentingan bangsa dan negara.
Bahwa apabila ada berbagai elemen masyarakat seperti praktisi hukum, akademisi, politisi mempunyai pandangan yang lain adalah sesuatu yang wajar dalam alam demokrasi.
Kedua, dalam kasus Hasto, Hasto sendiri berpendapat bahwa ini adalah sebuah proses hukum yang dipolitisasi.
Pertanyaannya adalah demi kepentingan politik siapa?
Sebagai Sekjen PDI Perjuangan yang memiliki kohesi politik dengan kekuasaan tentu yang dimaksudkan dengan hukum yang dipolitisasi berkaitan dengan proses politik kekuasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mana penguasa menggunakan hukum sebagai pedang untuk membunuh para lawan politik.
Kondisi ini membuat Presiden Prabowo perlu mengambil tindakan hukum dengan memberi amnesti dan abolisi yang merupakan hak prerogatif sebagai upaya menjaga harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi ini bukan tentang pengampunan semata tapi tentang perlunya para elit bersatu, kuat dan kokoh untuk membangun negeri ini maka dibutuhkan kebersamaan bukan saling “membunuh” untuk melanggengkan kekuasaan.
Ketiga, efek politik dari keputusan hukum Presiden Prabowo telah membuat para elite mulai mengatur kembali bidak bidak catur politik menuju 2029.
Bagi kelompok yang kemarin bersama Prabowo mulai berkalkulasi ulang apakah saya masih bersama Prabowo atau akan ditinggalkan oleh Prabowo.
Ada konfigurasi politik yang menurut penulis menyebutnya dengan istilah politik “segi empat”, yakni Prabowo-Megawati-SBY-Jokowi.
Tokoh tokoh ini akan memainkan bidak bidak catur politik ke depan dengan perannya masing -masing.
Prabowo akan menjadi pemeran utama sebagai orkestra kerena palu kekuasaan ada di tangan dengan Partai Gerindra sebagai pendukung utama.
Megawati dengan PDI Perjuangan serta para wong ciliknya yang setia dan Puan Maharani pemegang palu di DPR, SBY sebagai dalang disokong Partai Demokrat dengan AHY sebagai wayang, Jokowi bersama loyalis yang telah “loyo” dan PSI, partai tanpa kursi di DPR.
Keempat, apabila keputusan yang diambil oleh Presiden Prabowo ini merupakan jawaban dari pernyataan Hasto bahwa proses hukum terhadap dirinya adalah politisasi maka dapat dibaca adanya sebuah sinyal bahwa Presiden Prabowo sedang berkeinginan membersihkan masalah hukum yang ditinggalkan pemimpin sebelumnya.
Keputusan memberi amnesti dan abolisi ini meskipun konstitusional namun secara politis menyisakan problematika hubungan politik “segi tiga” antara Prabowo-Mega-Jokowi.
Implikasi politiknya Jokowi “berang” dengan Prabowo kerena Prabowo dapat dinilai lari dari kebersamaan yang telah mengantarnya duduk di singgasana kekuasaan. Lebih dari itu apa yang menjadi “proyek” politik 2029 akan ditata kembali kerena telah terjadi manuver politik baru.
Sementara itu hubungan Prabowo dengan Mega semakin membaik dan solid, dan ini penting, strategis bagi Presiden Prabowo kerena secara politis PDI Perjuangan akan kuat mendukung pemerintahan Prabowo ketimbang Jokowi yang tak memiliki kekuatan di parlemen.
Kelima, Keputusan Presiden Prabowo secara legal formal sangat kuat karena diatur dalam pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan UU Darurat Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1954 tentang amnesti dan abolisi.
Dalam pasal 14 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kendati memiliki kewenangan yang diatur dalam UUD dan UU namun keputusan ini berpotensi adanya dialektika hukum di antara pemegang kekuasaan Trias Politika yakni eksekutif, legislatif, yudikatif.
Teristimewa dalam hal ini eksekutif dan yudikatif, karena lembaga yudikatif merasa tersinggung (kendatipun hak prerogatif) tetapi perkara yang diputuskan dengan begitu cepat dan gampang diberikan amnesti dan abolisi kerena ditengarai ada unsur politisasi hukum.
Dengan pertimbangan DPR artinya keputusan yang akan diambil tidak bertentangan dengan kepentingan negara dan masyarakat hal ini mau menegaskan bahwa Presiden Prabowo mendapat dukungan penuh dari DPR saat ini tanpa PSI.
Keenam, Presiden Prabowo sedang memberi sinyal bahwa pengaruh kekuasaan lama yang berpotensi menghambat jalannya pemerintahan, pembangunan dan perberdayaan masyarakat segera dibersihkan, apakah ini pertanda runtuhnya sebuah hegemoni kekuasaan politik?
Rupanya Presiden Prabowo melihat pesanan dari elite untuk mengerdilkan kelompok tertentu tidak menguntung bagi kekuasaannya maka virus yang dititipkan yang menggerogoti jalan kekuasaanya perlu dimusnahkan demi kepentingan yang lebih besar bukan memeliharanya sebagai potensi benih benih oligarki. Inilah tanda tanda runtuhnya sebuah hegemoni kekuasaan politik.
Ketujuh, saat awal perkara Hasto digelar para penasehat hukumnya berkali-kali mengatakan terjadi politisasi hukum oleh elite saat itu.
Ini mengindikasikan bahwa hukum di negeri ini telah dijadikan pedang oleh elite untuk membunuh lawan politik.
Setiap orang atau kelompok yang berseberangan dengan penguasa dianggap sebagai lawan yang harus dihabisi karirnya. Hukum telah menjadi tameng bagi para elite untuk melindungi diri bahkan menjadi tameng untuk mengawetkan kekuasaan.
Dan saat ini ketika amnesti dan abolisi diberikan kepada Hasto dan Tom Lembong, ada sebuah pertanyaan menarik yakni apakah ini yang disebut dengan keputusan hukum demi kepentingan politik?
Jawabannya tergantung dari sudut padang dan kepentingan masing-masing, tapi satu hal yang pasti bahwa dari pihak pemerintah menyebut bahwa ini tidak ada kepentingan politik.
Mencermati penegakan hukim saat ini menunjukkan adanya penerapan hukum yang menggelisahkan masyarakat kerena hukum telah dijadikan alat untuk melanggengkan kakuasaan, hukum kadang tajam ke bawah tumpul ke atas.
Hukum yang harusnya dijalankan secara adil tanpa tekanan jauh dari harapan.
Oleh kerena itu menjadi pembelajaran bagi penegak hukum bahwa keadilan dalam penegakan hukum mesti ditegakkan. Hukum mesti menjadi panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketika penegakan hukum diabaikan maka akan terjadi disharmonisasi bahkan kepercayaan kepada lembaga penegak hukum dan pemerintah akan semakin menurun dan ini akan menjadi pemicu sebuah negara mengalami kemunduran. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.