Breaking News

Opini

Opini: Ambiguitas Relasi antara Agama dan Negara di Indonesia

Meskipun Habermas sangat menekankan peran nalar religius dalam diskursus publik, dia juga memberi batasan-batasan. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG,COM/HO-DOK PRIBADI GIAN RIBHATO
Gian Ribhato 

Ketiga, nalar religius memiliki kekuatan mengikat dibandingkan nalar sekuler.

Meskipun Habermas sangat menekankan peran nalar religius dalam diskursus publik, dia juga memberi batasan-batasan. 

Batasan-batasan itu dibuat agar nalar religius tidak mengintervensi seluruh diskursus dalam ruang publik. 

Habermas membagi ruang publik menjadi ruang publik formal (misalnya dalam parlemen) dan ruang publik informal. 

Di dalam ruang publik formal, nalar religius dipakai hanya sebagai sebuah paradigma, tetapi dalam artikulasinya mesti menggunakan bahasa sekuler atau bahasa yang bisa diterima oleh public manapun (translasi).

Sedangkan dalam ruang publik informal, seseorang dapat saja menggunakan nalar religius dengan menggunakan argumentasi-argumentasi religius.
Bagaimana dengan Indonesia? 

Apakah analisis yang dilakukan oleh Habermas terhadap konteks Eropa dapat diterapkan di Indonesia? 

Ada beberapa hal yang menjadi pembeda antara konteks Indonesia dan Eropa. 

Pertama, secara historis Indonesia belum memasuki tahap sekular
sebagaimana yang terjadi di Eropa. 

Dalam era Orde Baru, agama memang disingkirkan dalam ruang privat, tetapi itu bukan karena kesadaran sekular, tetapi karena tirani penguasa. 

Namun setelah Orde Baru, istilah post sekular dapat dikenakan pada konteks Indonesia dalam pengertian kembalinya peran agama dalam ruang publik tetapi bukan karena setelah melewati era sekular.

Kedua, konteks religius Eropa adalah Kristianisme, sedangkan Indonesia multireligius dengan mayoritas adalah Islamisme.

Pembedaan di atas tidak menjadikan analisis Habermas menjadi tidak relevan untuk konteks Indonesia. 

Poin penting yang cukup relevan dari pemikiran Habermas adalah bagaimana peran agama dalam ruang publik, dalam hal ini ruang publik formal. 

Menurut Habermas, ketika agama hendak masuk dalam ruang publik formal, agama mesti menggunakan bahasa yang bisa dimengerti oleh publik manapun. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved