Opini
Opini: Tarif Trump, Simfoni Proteksionisme di Tengah Diplomasi yang Gagap
Indonesia dikenai tarif bea masuk sebesar 32 persen untuk seluruh produk ekspor yang dikirimkan ke Amerika Serikat.
“Negara berkembang harus membentuk sistem perdagangan alternatif yang berbasis keadilan, solidaritas, dan kedaulatan. Jika tidak, mereka akan terus menjadi bulan-bulanan kekuatan besar yang mengatur permainan demi kepentingannya sendiri.”
Indonesia bisa menjajaki kerja sama strategis dengan Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, serta memperkuat pasar regional ASEAN yang selama ini belum dimaksimalkan.
Kita harus keluar dari kerangkeng pasar tradisional dan memperluas horizon ekspor kita ke kawasan yang lebih menghargai mutualisme.
Diplomasi Tak Lagi Cukup Lewat Perundingan Senyap
Trump tidak bermain dalam ruang diplomasi konvensional. Maka Indonesia pun harus belajar keluar dari pola lama. Kita bukan lagi bangsa yang bisa mengandalkan diplomasi senyap dan lobi diam-diam.
Kita harus tampil di forum internasional dan menyuarakan ketidakadilan ini lewat jalur multilateral seperti WTO, APEC, G20, dan ASEAN–US Summit.
Dalam pidatonya pada KTT APEC di Peru tanggal 23 November 2024, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan berikut:
“Indonesia mendukung tatanan perdagangan global yang inklusif dan adil, bukan yang digerakkan oleh tekanan politik dan kepentingan nasional sempit.”
Kini saatnya pernyataan itu diwujudkan. Dunia harus tahu bahwa Indonesia bukan sekadar objek kebijakan global, tapi juga subjek yang punya kehendak dan prinsip.
Tarif Bukan Lagi Soal Ekonomi: Ini Soal Martabat
Ketika Trump menjatuhkan tarif 32 persen kepada Indonesia, ia tidak hanya menghukum ekspor, tapi juga menguji keberanian kita.
Apakah kita akan terus memohon, atau mulai membangun jalan baru dengan kepala tegak?
Sebagaimana pernah ditegaskan Bung Hatta dalam pidato kemerdekaan ekonomi tahun 1952: “Negara yang tidak sanggup berdiri di atas kakinya sendiri dalam bidang ekonomi, tidak akan sanggup menegakkan kehormatannya di mata dunia.”
Kini, kita berada di tikungan sejarah itu. Apakah kita akan memilih untuk merayu lagi, atau memantapkan langkah untuk menata ulang ekonomi kita? Jawabannya tak boleh lagi ditulis dengan nada pasrah. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Tian Rahmat
Opini Pos Kupang
Donald Trump
Perang dagang
Tarif Impor AS
POS-KUPANG.COM
STFK Ledalero
diplomasi
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.