Opini
Opini: Tarif Trump, Simfoni Proteksionisme di Tengah Diplomasi yang Gagap
Indonesia dikenai tarif bea masuk sebesar 32 persen untuk seluruh produk ekspor yang dikirimkan ke Amerika Serikat.
Oleh: Tian Rahmat,S.Fil
Alumnus Filsafat IFTK Ledalero Flores, Pemerhati Isu-isu Strategis
POS-KUPANG.COM - Pada 8 Juli 2025, dunia seolah menatap kembali lembaran lama sejarah ekonomi global yang keras kepala dan tak ramah.
Donald J. Trump, Presiden Amerika Serikat yang kembali memimpin setelah kemenangan kontroversial di pemilu 2024 resmi memberlakukan tarif impor resiprokal terhadap 14 negara mitra dagang, termasuk Indonesia.
Pengumuman itu disampaikan melalui surat resmi kepada para pemimpin dunia dan dikutip dari kanal YouTube Kompas.com, Selasa (8/7/2025).
Indonesia dikenai tarif bea masuk sebesar 32 persen untuk seluruh produk ekspor yang dikirimkan ke Amerika Serikat.
Tidak main-main. Ini bukan hanya angka, tapi lonceng peringatan keras bagi neraca dagang, struktur industri, dan arah diplomasi ekonomi kita.
Baca juga: RESMI, Amerika Serikat Tetapkan Tarif Impor 19 Persen untuk Indonesia
Donald Trump, dalam gaya khasnya yang blak-blakan, seperti ingin berkata: “Jika tak tunduk, jangan harap lewat gerbang kami.”
Gedung Putih memberi batas waktu hingga 1 Agustus 2025 untuk negosiasi lanjutan, sebagaimana juga disampaikan kanal YouTube Metro TV (8/7/2025).
Tetapi mengapa kita harus selalu datang sebagai pemohon, bukan sebagai mitra?
Proteksionisme Berwajah Trump
Apa yang dilakukan Trump bukan kebijakan baru. Ini adalah pengulangan dari pola yang sama, di mana kekuasaan ekonomi digunakan sebagai alat tekanan geopolitik.
Pengumuman serupa telah disampaikan pada 2 April 2025, yang menjadi pembuka bagi episode baru drama ekonomi di periode kedua kepemimpinan Trump.
Kini, naskah itu kembali dimainkan, kali ini dengan tekanan yang lebih sistematis.
Dalam buku The Return of Protectionism (Oxford University Press, 2023), Paul Krugman menjelaskan bahwa pasang naik nasionalisme ekonomi global telah membuat perdagangan internasional kehilangan ruhnya sebagai jembatan peradaban.
Proteksionisme, kata Krugman, bukan hanya soal tarif atau bea, tapi ekspresi ketakutan negara adidaya menghadapi perubahan tatanan ekonomi dunia yang mulai mengarah ke multipolarisme.
Trump tidak sedang berdagang. Ia sedang berperang. Dan kita, tampaknya, belum siap menjadi tentara dalam medan itu.
Indonesia: Retorika “Merayu” yang Mengkhawatirkan
Respons pemerintah Indonesia, sebagaimana dikutip Metro TV, adalah keinginan untuk “merayu kembali” Amerika Serikat agar tarif itu dibatalkan.
Dalam konteks diplomasi, kata “merayu” mengandung makna yang sarat dengan perasaan terluka atau ketidakberdayaan.
Sebab rayuan adalah bahasa pihak lemah kepada pihak kuat. Bukan relasi mitra, melainkan struktur subordinasi yang melemahkan daya tawar.
Padahal, secara statistik, Indonesia memiliki hubungan dagang yang sangat signifikan dengan AS.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Desember 2024, total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mencapai USD 21,6 miliar, mencakup produk tekstil, alas kaki, elektronik, karet, hingga furnitur. Sektor-sektor ini padat karya dan menyerap jutaan tenaga kerja.
Kenaikan tarif 32 persen akan membuat produk kita tak lagi kompetitif di pasar AS.
Produk-produk itu akan kehilangan daya saing, menguap dari etalase toko, dan pada akhirnya kembali ke gudang dalam negeri dengan iringan tangis para pelaku UMKM dan industri padat karya.
Ekonom senior Faisal Basri, dalam diskusi ekonomi di LIPI (10 Oktober 2023), mengingatkan: “Indonesia perlu menghentikan perannya sebagai pasar ekspor yang tak berdaulat.
Selama kita terus bergantung pada kekuatan besar tanpa membangun fondasi industri yang kuat, kita akan terus menjadi pihak yang dirugikan setiap kali terjadi guncangan global.”
Saatnya Berdiri di Tengah Peta, Bukan di Pinggiran
Donald Trump telah membuka permainan. Tapi kita tak boleh masuk lapangan dengan tangan kosong.
Pemerintah Indonesia perlu segera menyusun ulang strategi diplomasi ekonominya, tidak hanya berfokus pada Washington, tetapi membangun orbit ekonomi baru yang lebih mandiri dan seimbang.
Dalam buku Globalization and Its Discontents Revisited (W.W. Norton & Co., 2018), Joseph E. Stiglitz menulis bahwa:
“Negara berkembang harus membentuk sistem perdagangan alternatif yang berbasis keadilan, solidaritas, dan kedaulatan. Jika tidak, mereka akan terus menjadi bulan-bulanan kekuatan besar yang mengatur permainan demi kepentingannya sendiri.”
Indonesia bisa menjajaki kerja sama strategis dengan Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, serta memperkuat pasar regional ASEAN yang selama ini belum dimaksimalkan.
Kita harus keluar dari kerangkeng pasar tradisional dan memperluas horizon ekspor kita ke kawasan yang lebih menghargai mutualisme.
Diplomasi Tak Lagi Cukup Lewat Perundingan Senyap
Trump tidak bermain dalam ruang diplomasi konvensional. Maka Indonesia pun harus belajar keluar dari pola lama. Kita bukan lagi bangsa yang bisa mengandalkan diplomasi senyap dan lobi diam-diam.
Kita harus tampil di forum internasional dan menyuarakan ketidakadilan ini lewat jalur multilateral seperti WTO, APEC, G20, dan ASEAN–US Summit.
Dalam pidatonya pada KTT APEC di Peru tanggal 23 November 2024, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan berikut:
“Indonesia mendukung tatanan perdagangan global yang inklusif dan adil, bukan yang digerakkan oleh tekanan politik dan kepentingan nasional sempit.”
Kini saatnya pernyataan itu diwujudkan. Dunia harus tahu bahwa Indonesia bukan sekadar objek kebijakan global, tapi juga subjek yang punya kehendak dan prinsip.
Tarif Bukan Lagi Soal Ekonomi: Ini Soal Martabat
Ketika Trump menjatuhkan tarif 32 persen kepada Indonesia, ia tidak hanya menghukum ekspor, tapi juga menguji keberanian kita.
Apakah kita akan terus memohon, atau mulai membangun jalan baru dengan kepala tegak?
Sebagaimana pernah ditegaskan Bung Hatta dalam pidato kemerdekaan ekonomi tahun 1952: “Negara yang tidak sanggup berdiri di atas kakinya sendiri dalam bidang ekonomi, tidak akan sanggup menegakkan kehormatannya di mata dunia.”
Kini, kita berada di tikungan sejarah itu. Apakah kita akan memilih untuk merayu lagi, atau memantapkan langkah untuk menata ulang ekonomi kita? Jawabannya tak boleh lagi ditulis dengan nada pasrah. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Tian Rahmat
Opini Pos Kupang
Donald Trump
Perang dagang
Tarif Impor AS
POS-KUPANG.COM
STFK Ledalero
diplomasi
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.