Opini

Opini: Tarif Trump, Simfoni Proteksionisme di Tengah Diplomasi yang Gagap

Indonesia dikenai tarif bea masuk sebesar 32 persen untuk seluruh produk ekspor yang dikirimkan ke Amerika Serikat.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Tian Rahmat,S.Fil 

Trump tidak sedang berdagang. Ia sedang berperang. Dan kita, tampaknya, belum siap menjadi tentara dalam medan itu.

Indonesia: Retorika “Merayu” yang Mengkhawatirkan

Respons pemerintah Indonesia, sebagaimana dikutip Metro TV, adalah keinginan untuk “merayu kembali” Amerika Serikat agar tarif itu dibatalkan. 

Dalam konteks diplomasi, kata “merayu” mengandung makna yang sarat dengan perasaan terluka atau ketidakberdayaan.

Sebab rayuan adalah bahasa pihak lemah kepada pihak kuat. Bukan relasi mitra, melainkan struktur subordinasi yang melemahkan daya tawar.

Padahal, secara statistik, Indonesia memiliki hubungan dagang yang sangat signifikan dengan AS. 

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Desember 2024, total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mencapai USD 21,6 miliar, mencakup produk tekstil, alas kaki, elektronik, karet, hingga furnitur. Sektor-sektor ini padat karya dan menyerap jutaan tenaga kerja.

Kenaikan tarif 32 persen akan membuat produk kita tak lagi kompetitif di pasar AS. 

Produk-produk itu akan kehilangan daya saing, menguap dari etalase toko, dan pada akhirnya kembali ke gudang dalam negeri dengan iringan tangis para pelaku UMKM dan industri padat karya.

Ekonom senior Faisal Basri, dalam diskusi ekonomi di LIPI (10 Oktober 2023), mengingatkan: “Indonesia perlu menghentikan perannya sebagai pasar ekspor yang tak berdaulat. 

Selama kita terus bergantung pada kekuatan besar tanpa membangun fondasi industri yang kuat, kita akan terus menjadi pihak yang dirugikan setiap kali terjadi guncangan global.”

Saatnya Berdiri di Tengah Peta, Bukan di Pinggiran

Donald Trump telah membuka permainan. Tapi kita tak boleh masuk lapangan dengan tangan kosong. 

Pemerintah Indonesia perlu segera menyusun ulang strategi diplomasi ekonominya, tidak hanya berfokus pada Washington, tetapi membangun orbit ekonomi baru yang lebih mandiri dan seimbang.

Dalam buku Globalization and Its Discontents Revisited (W.W. Norton & Co., 2018), Joseph E. Stiglitz menulis bahwa:

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved