Opini

Opini: Kalau Bangga Bayar Belis, Harus Malu Cucu Otak Setengah

Dalam berbagai komunitas adat di NTT, belis bisa mencapai belasan hingga puluhan ekor sapi sebagai simbol penghormatan dan nilai perempuan.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Jermi Haning 

Strategi Kampanye: Sentuh Gengsi, Bukan Hanya Data

Filsuf Inggris Jeremy Bentham mengajarkan bahwa manusia bertindak karena dua dorongan utama: pain (rasa sakit) dan pleasure (kenikmatan).

Saat kampanye stunting hanya menyodorkan grafik dan statistik, publik tidak merasa tergugah. 

Tapi saat stunting dihubungkan dengan kehinaan sosial, citra keluarga, dan bahkan harga diri cucu, barulah muncul reaksi.

“Jangan sampai anak saya menikah dengan anak stunting.” 

“Masa cucu saya nanti bodoh, padahal saya bayar belis 15 sapi?”

Ketika narasi stunting dikemas sebagai soal gengsi, bukan sekadar gizi, maka kesadaran akan lahir dari dalam diri masyarakat sendiri—bukan hanya dari penyuluhan formal.

Tradisi Lokal: Akar Solusi, Bukan Hambatan

Di tengah tantangan, budaya kita di NTT menyimpan solusi. Di Rote misalnya, dikenal istilah:

Ira esa: penyediaan daging satu ternak untuk ibu hamil,

Ndu dua: pemberian porsi makan ganda bagi ibu menyusui,

Teuk telu: anjuran menyusui selama tiga tahun.

Tradisi ini sejalan dengan prinsip 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)yang menjadi fokus utama penanganan stunting.

Jadi kalau kita serius bayar belis sebagai bentuk tanggung jawab sosial,

Maka gizi istri dan cucu juga harus jadi bagian dari kehormatan keluarga.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved