Opini
Opini: Polemik Pungutan SMA di NTT
Ini bukan sekadar masalah "uang", melainkan cermin dari dilema besar kita dalam memajukan pendidikan di tengah keterbatasan.
Oleh: Dr. Blasius Paga, S.Hut. M.Si
Dosen Jurusan Kehutanan Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Sebagai seorang pemerhati pendidikan, saya tak bisa menahan diri untuk merasa prihatin melihat polemik pungutan sekolah yang menimpa SMAN 5 Kupang dan mungkin banyak sekolah lain di Nusa Tenggara Timur.
Berita-berita di media online yang menyoroti masalah ini, seperti yang diberitakan oleh Pos Kupang atau victorynews.id beberapa waktu lalu, kerap menampilkan narasi benturan kepentingan antara harapan sekolah dan orang tua di satu sisi, dengan regulasi serta pengawasan pemerintah di sisi lain.
Ini bukan sekadar masalah "uang", melainkan cermin dari dilema besar kita dalam memajukan pendidikan di tengah keterbatasan.
Bagaimana ini bisa terjadi? Kita tahu, Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seringkali tidak cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan operasional dan pengembangan kualitas sekolah.
Fasilitas yang usang, peralatan laboratorium yang minim, atau kebutuhan pelatihan guru yang mendesak, seringkali tak tercover.
Di sinilah inisiatif sekolah, didukung komite dan orang tua, muncul sebagai solusi praktis.
Mereka bersepakat, secara musyawarah, untuk bersama-sama urunan demi kualitas pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Ini adalah manifestasi dari "sense of ownership" yang kuat, di mana sekolah bukan hanya milik pemerintah, melainkan juga milik komunitasnya.
Namun, mengapa kemudian hal ini dipersoalkan oleh Ombudsman, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), dan Pemerintah Provinsi NTT? Jawabannya terletak pada interpretasi regulasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah memang tegas membedakan antara pungutan yang wajib dan sumbangan yang sukarela.
Pungutan yang memberatkan dan bersifat wajib dilarang, terutama di sekolah negeri. Di sinilah letak abu-abu yang sering memicu polemik: apakah kesepakatan bersama itu "pungutan wajib" atau "sumbangan sukarela yang disepakati?"
Bagi saya, jika kesepakatan itu lahir dari musyawarah murni dengan kesadaran dan kemampuan orang tua, ia lebih mendekati semangat partisipasi masyarakat, bukan pemaksaan.
Peran Kunci dalam Mengurai Benang Kusut
Untuk memahami polemik ini lebih dalam dan mencari jalan keluar, kita harus meninjau kembali peran masing-masing pihak:
1. Sekolah: Lokomotif Utama Inovasi dan Kualitas
Sekolah adalah garda terdepan pendidikan. Kepala sekolah dan guru adalah aktor utama yang paling memahami kondisi riil di lapangan.
Ketika mereka mengajukan kebutuhan dana tambahan, itu bukan sekadar permintaan, melainkan upaya nyata untuk meningkatkan kualitas yang tak bisa ditunda.
Konsep "School-Based Management" (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah, yang populer di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris sejak tahun 1980-an, mendukung penuh otonomi sekolah dalam mengelola sumber daya.
Seperti yang diungkapkan oleh Richard F. Elmore (2000), seorang pakar reformasi pendidikan dari Harvard University, SBM bertujuan mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat sekolah, di mana kebutuhan dan solusi dapat diidentifikasi secara lebih akurat.
Ini esensial agar inovasi pembelajaran dan peningkatan fasilitas tidak hanya menunggu gelontoran dana pusat yang seringkali terbatas dan rigid.
2. Orang Tua: Mitra Strategis dan Penentu Keberhasilan
Saya percaya, sebagian besar orang tua yang setuju dengan pungutan itu melakukannya bukan karena terpaksa, melainkan karena mereka memahami bahwa investasi pada pendidikan anak adalah investasi terbaik.
Mereka melihat langsung bagaimana fasilitas yang lebih baik atau program tambahan bisa menunjang potensi anak. Ini sejalan dengan Teori Modal Sosial (Social Capital Theory) yang dikemukakan oleh James S. Coleman (1988).
Coleman berargumen bahwa keterlibatan orang tua dan dukungan komunitas (termasuk finansial) menciptakan modal sosial yang kuat di sekolah, yang pada gilirannya berkorelasi positif dengan peningkatan prestasi akademik siswa dan iklim sekolah yang kondusif. Ketika orang tua merasa memiliki andil, kepedulian mereka akan jauh lebih besar.
3. Komite Sekolah: Jembatan Aspirasi dan Pengawas Partisipatif
Komite sekolah seharusnya menjadi benteng transparansi dan akuntabilitas. Mereka adalah perpanjangan tangan orang tua dan masyarakat di sekolah.
Dalam kasus pungutan, komite bertanggung jawab penuh memastikan proses musyawarah berjalan demokratis, tanpa paksaan, dan hasil kesepakatan digunakan secara tepat guna.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 47 ayat (1), jelas mengamanatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.
Namun, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 yang mengatur komite sekolah memiliki "celah" yang seringkali jadi akar masalah: Komite boleh menggalang dana, tapi tidak boleh memberatkan, wajib, atau menentukan jumlahnya.
Lalu, bagaimana kita mendefinisikan "memberatkan" atau "wajib" jika ada kesepakatan bersama? Inilah area abu-abu yang butuh klarifikasi regulasi yang lebih fleksibel namun tetap adil.
4. Disdikbud & Pemerintah Provinsi NTT: Regulator dan Fasilitator Utama
Pemerintah Provinsi NTT, melalui Disdikbud, memegang kendali kebijakan. Peran mereka adalah menjaga agar tidak ada praktik pungutan liar yang merugikan masyarakat.
Namun, saya berpendapat, mereka juga harus menjadi fasilitator dan pendengar yang baik bagi sekolah. Tidak cukup hanya melarang; pemerintah juga harus menawarkan solusi konkret.
Pakar pendidikan dari negara-negara maju, seperti Andreas Schleicher (2018) dari OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) yang terlibat dalam program PISA, sering menekankan bahwa sistem pendidikan terbaik di dunia (seperti Finlandia atau Singapura) memiliki kombinasi desentralisasi yang kuat dengan dukungan dan pengawasan yang cerdas dari pemerintah pusat/daerah.
Sekolah diberi otonomi untuk berinovasi dan mencari sumber daya, namun dengan sistem akuntabilitas yang transparan. Ini mendorong inovasi "dari bawah ke atas", bukan hanya menunggu instruksi "dari atas ke bawah".
Solusi Harmonis untuk Pendidikan NTT
Polemik ini adalah momentum penting bagi NTT untuk menata ulang pendanaan pendidikan. Saya mengusulkan beberapa langkah konkret.
1. Revisi dan Klarifikasi Regulasi Pendanaan.
Pemerintah Pusat dan Daerah perlu meninjau ulang regulasi terkait pungutan dan sumbangan.
Buatlah payung hukum yang lebih fleksibel namun jelas, yang memungkinkan partisipasi finansial masyarakat secara sukarela, transparan, dan akuntabel, tanpa ada kesan paksaan atau diskriminasi. Ini akan menutup celah yang selama ini menjadi sumber konflik.
2. Peningkatan Alokasi Dana BOS yang Realistis.
Pemerintah perlu mengevaluasi kembali standar biaya operasional riil sekolah. Jika alokasi BOS tidak mencukupi, maka kebutuhan itu harus diakomodir oleh APBD atau APBN, atau difasilitasi cara penggalangan dana yang transparan dan legal.
3. Penguatan Kapasitas Komite Sekolah.
Berikan pelatihan yang memadai kepada anggota komite sekolah mengenai manajemen keuangan, transparansi, dan komunikasi.
Mereka harus menjadi garda terdepan dalam membangun kepercayaan antara sekolah dan orang tua.
4 Ombudsman sebagai Mediator, Bukan Hanya Penindak.
Peran Ombudsman sangat penting sebagai pengawas, namun mereka juga harus berfungsi sebagai mediator yang konstruktif.
Libatkan Ombudsman dalam dialog tiga pihak (sekolah, komite, pemerintah) untuk mencari solusi win-win, bukan sekadar memberikan sanksi.
5. Kepemimpinan Visioner Gubernur.
Gubernur NTT sebagai pucuk pimpinan harus menjadi lokomotif perubahan. Dengan kebijakan yang jelas, transparan, dan partisipatif, ia dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi semua pemangku kepentingan untuk bergotong royong memajukan pendidikan, tanpa ada rasa takut akan kriminalisasi.
Pada akhirnya, tujuan kita bersama adalah menciptakan sistem pendidikan SMA di NTT yang tangguh, adaptif, dan mampu menghasilkan generasi berkualitas yang siap bersaing di kancah global.
Ini hanya bisa terwujud jika kita mau duduk bersama, mengesampingkan ego sektoral, dan berfokus pada esensi; bagaimana caranya agar anak-anak kita mendapatkan pendidikan terbaik, bagaimanapun sumber daya yang tersedia?
Dengan semangat kolaborasi dan pemahaman yang lebih baik tentang peran masing-masing, saya yakin benang kusut ini bisa kita uraikan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.