Opini
Opini: Urgensi Memahami Savana dan Karbon dalam Krisis Iklim di Indonesia
Menyoroti hal ini Sumba dan Flores yang seharusnya menjadi aset iklim tapi kini terdegradasi karena kekeringan dan kebakaran.
Sebagai contoh salah satu proyek di NTT dengan skala besar mengalami kegagalan yakni budidaya ikan kerapu di teluk Wae Kelambu dengan anggaran program Rp 7,8 M dan hasil panen cuma sekitar 1 persen dari total investasi.
Pola Pembangunan seperti ini memperhatikan bahwa pendekatan mitigasi iklim Indonesia masih bias pada wilayah-wilayah yang terlihat “hijau” secara visual dan mengabaikan ekosistem yang tak masuk dalam narasi arus utama konservasi.
Padahal kerusakan yang terjadi bukan hanya pada hutan, melainkan juga menyasar ekosistem savana, padang kering dan pesisir.
Kawasan yang sebenarnya memiliki peran ekologi penting dalam menyerap karbon dan menjaga keseimbangan lingkungan local.
Ketika kebijakan Pembangunan justru menyingkirkan ekosistem semacam ini dari prioritas perlindungan, maka kita sedang kehilangan peluang penting dalam strategi emisi yang lebih inklusif.
Lebih jauh, pendekatan konservasi kita masih sangat ‘hutan-sentris’.
Padahal dalam artikel ilmiah PNAS 2020, para peneliti menegaskan bahwa target-target konservasi saat ini terlalu statis dan hanya fokus pada luas kawasan lindung, tanpa menyesuaikan dinamika iklim dan perubahan distribusi spesies.
Artinya, jika kita terus mengandalkan model konservasi lama, kita bisa saja ‘melindungi’ area yang secara ekosistem sudah rusak, sembari membiarkan wilayah penting lain seperti savana dan karbon biru (ekosistem pesisir) dihancurkan karena tidak terlihat hijau dari satelit.
Contoh nyata bisa dilihat dari Brazil. Negara ini memiliki citra sebagai penjaga Amazon, namun ekspansi agrikultur justru menghancurkan savana Cerrado, padahal wilayah itu menyimpan sepertiga dari cadangan karbon daratan Brazil.
Ini menunjukkan bahwa bahkan negara dengan citra “penghijauan” pun bisa tetap jadi pengemisi besar jika tidak memperluas definisi ekologisnya.
Saat dunia berpacu menurunkan emisi, kita tak bisa lagi terpaku pada satu ekosistem sebagai penyelamat Tunggal.
Savana, rawa, dan bentang alam kering lainnya bukan ruang kosong yang layak dikorbankan, melainkan bagian dari sistem penyangga iklim yang tak kalah penting dari hutan. Mengabaikan mereka berarti melewatkan peluang besar dalam strategi mitigasi iklim.
Kini saatnya, kebijakan kita memandang karbon secara menyeluruh bukan hanya dari tinggi pohon, tapi juga dari kedalaman tanah dan luas cakrawala yang selama ini luput dari perhatian. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.