Opini

Opini: Urgensi Memahami Savana dan Karbon dalam Krisis Iklim di Indonesia

Menyoroti hal ini Sumba dan Flores yang seharusnya menjadi aset iklim tapi kini terdegradasi karena kekeringan dan kebakaran.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Velin Jessica 

Oleh:  Velin Jessica
Internal Pikul, tinggal di Kupang

POS-KUPANG.COM - Dalam topik soal penyelamatan dunia hampir selalu dimulai dari hutan di pembahasan krisis iklim global. 

Hutan tropis disebut-disebut sebagai paru-paru dunia penyelamat karbon dan garis depan dalam menahan pemanasan global. 

Namun, narasi ini menimbulkan masalah baru, terdapat ekosistem lain yang juga menyerap karbon seperti savana, padang rumput dan ekosistem pesisir diabaikan dan akhirnya dihancurkan atas nama pembangunan.

Hal ini juga dijelaskan dalam buku Grasslands and Climate Change oleh David J. Gibson & Jonathan A. Newman (2019, Cambridge University Press). 

“Grasslands have many important goods and services including: food, forage, biofuels, tourism, recreation, wildlife habitat, and ecosystem services such as: stormwater management, soil conservation, soil carbon storage, aquifer recharge, soil water conservation during drought, improved soil physical and chemical properties”.

Dalam hal ini savana yang banyak ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Timur ( NTT) seperti Pulau Sumba dan Flores terkadang dianggap tak bernilai karbon. 

Jika dilihat dalam laporan Global Carbon Budget 2023, sekitar 31 persen emisi karbon global diserap oleh daratan dan sebagian besar penyerapan itu bukan hanya dari hutan hujan melainkan dari tanah, vegetasi rendah dan sistem akar dalam savana dan semak belukar. 

Dengan kata lain, savana menyimpan karbon dalam bentuk yang kurang kasat mata tapi sama pentingnya.

Menyoroti hal ini Sumba dan Flores yang seharusnya menjadi aset iklim tapi kini terdegradasi karena kekeringan dan kebakaran.

Pemerintah NTT telah membuat kebijakan seperti Perda Provinsi NTT No. 10 Tahun 2019 atau yang dikenal dengan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019-2050 yang sudah berjalan selama lima tahun, surat edaran Gubernur NTT Nomor: BU.671/03/ESDM/2022 terkait pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan pembentukan POKJA perubahan iklim, tapi sejauh ini fokus dan implementasi ke daerah masih minim. 

Hal lain yang menjadi permasalahan yakni NTT realisasi anggaran nasional untuk adaptasi iklim hanya 4,1 persen dari APBN, jauh di bawah kebutuhan sehingga rasanya sulit dirasakan di level desa.

Sementara dunia berpacu menurunkan emisi, anggaran karbon untuk menjaga suhu global di bawah 1,5°C terus menipis : tersisa hanya 275 Gt CO₂ menurut Global Carbon Project (2023), dan bisa habis dalam kurang dari 7 tahun jika situasi ini tidak berubah.

Ironisnya di tengah darurat ini, Indonesia justru membuka ruang bagi proyek-proyek yang berpotensi men ambah emisi dan menghilangkan penyerapan karbon alami. 

Sebut saja tambang nikel di Raja Ampat yang merusak pesisir dan wilayah tropis atau tambak udang di wilayah perairan daerah Sumba Timur dengan skala besar yang dapat merusak ekosistem pesisir, kualitas air dan tanah, lingkungan dan kehidupan laut. 

Sebagai contoh salah satu proyek di NTT dengan skala besar mengalami kegagalan yakni budidaya ikan kerapu di teluk Wae Kelambu dengan anggaran program Rp 7,8 M dan hasil panen cuma sekitar 1 persen dari total investasi.

Pola Pembangunan seperti ini memperhatikan bahwa pendekatan mitigasi iklim Indonesia masih bias pada wilayah-wilayah yang terlihat “hijau” secara visual dan mengabaikan ekosistem yang tak masuk dalam narasi arus utama konservasi. 

Padahal kerusakan yang terjadi bukan hanya pada hutan, melainkan juga menyasar ekosistem savana, padang kering dan pesisir. 

Kawasan yang sebenarnya memiliki peran ekologi penting dalam menyerap karbon dan menjaga keseimbangan lingkungan local. 

Ketika kebijakan Pembangunan justru menyingkirkan ekosistem semacam ini dari prioritas perlindungan, maka kita sedang kehilangan peluang penting dalam strategi emisi yang lebih inklusif.

Lebih jauh, pendekatan konservasi kita masih sangat ‘hutan-sentris’. 

Padahal dalam artikel ilmiah PNAS 2020, para peneliti menegaskan bahwa target-target konservasi saat ini terlalu statis dan hanya fokus pada luas kawasan lindung, tanpa menyesuaikan dinamika iklim dan perubahan distribusi spesies. 

Artinya, jika kita terus mengandalkan model konservasi lama, kita bisa saja ‘melindungi’ area yang secara ekosistem sudah rusak, sembari membiarkan wilayah penting lain seperti savana dan karbon biru (ekosistem pesisir) dihancurkan karena tidak terlihat hijau dari satelit. 

Contoh nyata bisa dilihat dari Brazil. Negara ini memiliki citra sebagai penjaga Amazon, namun ekspansi agrikultur justru menghancurkan savana Cerrado, padahal wilayah itu menyimpan sepertiga dari cadangan karbon daratan Brazil

Ini menunjukkan bahwa bahkan negara dengan citra “penghijauan” pun bisa tetap jadi pengemisi besar jika tidak memperluas definisi ekologisnya.

Saat dunia berpacu menurunkan emisi, kita tak bisa lagi terpaku pada satu ekosistem sebagai penyelamat Tunggal. 

Savana, rawa, dan bentang alam kering lainnya bukan ruang kosong yang layak dikorbankan, melainkan bagian dari sistem penyangga iklim yang tak kalah penting dari hutan. Mengabaikan mereka berarti melewatkan peluang besar dalam strategi mitigasi iklim. 

Kini saatnya, kebijakan kita memandang karbon secara menyeluruh bukan hanya dari tinggi pohon, tapi juga dari kedalaman tanah dan luas cakrawala yang selama ini luput dari perhatian. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved