Opini

Opini: Pisah Pemilu Nasional dan Daerah, Putusan MK yang Progresif Tapi Belum Preskriptif

Secara substantif, putusan ini merupakan kritik yuridis terhadap konsekuensi buruk pemilu serentak penuh. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Dosen Universitas Citra Bangsa Kupang, Heryon Bernard Mbuik, S.Pak., M.Pd 

Perubahan dan penambahan norma pemilu sepenuhnya adalah kewenangan legislator, bukan yudikatif. 

Mahkamah seharusnya memerintahkan pembentuk undang-undang untuk merevisi norma yang cacat secara konstitusional, bukan menggantikannya secara langsung.

Pandangan ini juga senada dengan peringatan Prof. Saldi Isra, Wakil Ketua MK, yang dalam berbagai forum akademik menegaskan bahwa Mahkamah harus berhati-hati agar tidak tergelincir menjadi positive legislator. 

MK, menurutnya, hanya berwenang membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD (sebagai negative legislator), bukan menyisipkan norma baru yang menjadi ranah DPR dan Presiden.

Putusan MK seharusnya mendorong pembentuk undang-undang untuk memperbaiki norma, bukan menggantikannya secara langsung. 

Ketika Mahkamah mulai menentukan isi norma secara rinci seperti menetapkan batas jeda 2–2,5 tahun dalam pemilu maka batas konstitusional antara kekuasaan yudikatif dan legislatif menjadi kabur. 

Ini bukan sekadar soal prosedur, melainkan soal menjaga integritas prinsip pemisahan kekuasaan dalam system demokrasi kita.

Antara Norma Ideal dan Realitas Politik

Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa putusan ini lahir dari kegelisahan atas tumpukan permasalahan dalam praktik demokrasi elektoral kita. 

Keputusan ini merupakan intervensi konstitusional untuk menyelamatkan kualitas pemilu yang semakin pragmatis dan melelahkan. 

Namun, niat baik belum tentu sah secara formil, dan inilah paradoks yang harus dicermati.

Oleh karena itu, tanggung jawab utama sekarang berpindah ke DPR dan Pemerintah. 

Mereka harus segera menindaklanjuti putusan ini dengan merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada secara sistematis dan demokratis. 

Jangan sampai putusan ini menjadi “aturan kosong” karena tidak ditindaklanjuti dalam regulasi yang aplikatif dan akuntabel.

KPU dan Bawaslu juga perlu menyiapkan peta jalan pelaksanaan pemilu yang baru dengan mempertimbangkan efisiensi anggaran, distribusi waktu, serta edukasi pemilih secara berkelanjutan. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved