Opini
Opini: Mau Sekolah Bayar Pajak Dulu
Secara konstitusional, pendidikan merupakan hak setiap warga negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945.
Oleh: Engelbertus Nggalu Bali
Dosen FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Kebijakan pendidikan di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, kembali memantik ruang diskursus publik.
Surat Edaran Dinas Pendidikan Kabupaten Manggarai Nomor B/1488/400.3.6/VI/2025 menyebutkan bahwa pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi syarat administratif bagi orang tua yang ingin mendaftarkan anak ke sekolah.
Di tengah semangat negara untuk memperluas akses pendidikan, kebijakan ini mengundang pertanyaan mendalam: apakah pendidikan masih dimaknai sebagai hak dasar, atau bergeser menjadi pendidikan yang membelenggu?
Secara konstitusional, pendidikan merupakan hak setiap warga negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945.
Komitmen global melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 4) pun menegaskan pentingnya pendidikan yang inklusif, adil, dan bermutu.
Namun, ketika pendaftaran sekolah disyaratkan dengan bukti pembayaran PBB, muncul potensi hambatan administratif baru.
Bagi keluarga miskin dengan akses terbatas, kebijakan ini justru menjadi penghalang nyata.
Sebuah gejala pendidikan yang meresahkan, yang ironisnya menekan kelompok yang paling perlu dilindungi.
Pendidikan dan Ruang Kritis Belajar dari Paulo Freire
Dalam pemikiran Paulo Freire, pendidikan bukanlah sekadar proses transfer informasi, melainkan ruang dialog yang setara dan membebaskan.
Pendidikan sejati harus mampu mengangkat martabat, membuka ruang partisipasi, dan menjadikan peserta didik sebagai subjek dalam proses pembelajaran.
Ketika kebijakan dibuat tanpa melibatkan suara masyarakat, khususnya yang terdampak, pendidikan berisiko menjadi alat kontrol administratif yang menjauh dari semangat pembebasan.
Mengaitkan hak pendidikan dengan kepatuhan pajak memberi kesan bahwa hanya yang mampu membayar yang layak bersekolah.
Freire menyebut model semacam ini sebagai bagian dari pendidikan yang membelenggu pendidikan yang menundukkan, bukan membangkitkan.
Antara Kepatuhan dan Keadilan Sosial
Tidak dapat dimungkiri bahwa pajak termasuk PBB, merupakan bagian dari kewajiban warga negara.
Namun, menjadikan bukti bayar pajak sebagai prasyarat masuk sekolah berpotensi menambah beban pada keluarga rentan.
Anak-anak dari keluarga rentan secara ekonomi dan minim literasi administrasi, berisiko kehilangan hak pendidikan, karena kendala birokrasi yang dirasa membelenggu.
Kebijakan ini, walaupun mungkin dilandasi niat baik, tetapi menyisakan kekhawatiran.
Bukannya menjembatani keadilan sosial, justru membangun tembok pemisah yang menghalangi masa depan anak-anak.
Negara yang Mendengar, Masyarakat yang Dilibatkan
Idealnya, setiap kebijakan pendidikan lahir dari proses partisipatif yang melibatkan masyarakat, orang tua, guru, tokoh adat, dan komunitas lokal.
Dalam pendekatan Freire, pendidikan yang membebaskan lahir dari interaksi yang saling menghormati, bukan dari keputusan sepihak yang memberlakukan standar tunggal tanpa melihat konteks kehidupan nyata.
Pandangan terhadap kebijakan ini seharusnya tidak dimaknai sebagai penolakan terhadap kewajiban pajak, melainkan suara nurani yang meratapi kebijakan pendidikan yang menjauh dari semangat keadilan sosial. Pendidikan sebaiknya menjadi rumah harapan bagi anak.
Menuju Pendidikan yang Membebaskan
Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang memanusiakan yang membangkitkan harapan, bukan menambahkan beban.
Pendidikan tumbuh dari empati, bukan dari sederet formulir dan surat keterangan.
Negara bukan hanya bertugas membuat kebijakan administratif, tetapi menjamin bahwa setiap anak apapun status sosial dan ekonominya punya hak untuk belajar, bertumbuh, dan bermimpi.
Sebagaimana diungkapkan Freire, pendidikan harus membangkitkan kesadaran kritis dan memampukan individu menjadi agen perubahan, bukan sekadar menuruti aturan yang membatasi.
Biarlah sekolah menjadi tempat anak-anak belajar bukan hanya membaca dan menghitung, tetapi juga menemukan harapan, menemukan kebahagiaan, bermimpi untuk masa depan.
Kini saatnya kita bertanya: apakah kebijakan pendidikan kita, sungguh mengabdi pada keadilan sosial, atau sedang menciptakan pendidikan yang membelenggu generasi yang tak bersalah? (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Engelbertus Nggalu Bali
Pajak Bumi dan Bangunan
Opini Pos Kupang
Kabupaten Manggarai NTT
Bayar Pajak
Universitas Nusa Cendana
Nusa Tenggara Timur
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.