Opini
Opini: Meja Terhormat, Kursi Pesisir dan Iman yang Gagap
Ini pembalikan total tata sosial yang menuhankan gengsi. Kerajaan Allah yang Yesus tawarkan justru menjungkirbalikkan meja kuasa.
Harapan: membangun diskursus publik yang sehat
Kita perlu menghidupkan kembali ide Habermas tentang deliberative democracy: ruang diskursus sehat, rasional, egaliter. Gereja punya peluang besar di sini.
Bayangkan kalau gereja membuka forum lintas iman, lintas partai, lintas profesi, di mana warga berdialog tentang ekologi pesisir, kualitas pendidikan, moralitas publik.
Bukan debat kosong, tapi diskursus yang orientasinya pada kebaikan bersama.
Inilah kerendahan hati sosial: memberi ruang bicara bagi yang biasanya dibungkam.
Habermas menyebutnya communicative action, yakni tindakan komunikasi yang tujuannya mencapai pengertian bersama, bukan menang debat.
Pada akhirnya, kerendahan hati Injil adalah tentang memecah meja kehormatan lama dan menyusun meja baru di mana semua duduk setara.
Yesus tidak tertarik mempertahankan struktur gengsi. Gereja pun jangan.
Jika para pejabat kita yang sering duduk di barisan depan ibadah sungguh mau meneladani Kristus, teladan itu bukanlah soal menundukkan kepala saat doa syafaat, tapi diwujudkan dalam kebijakan publik yang rendah hati: memberi prioritas pada guru, nelayan, petani, anak-anak.
Di situlah Lukas 14 hidup — bukan cuma di liturgi atau kotbah mingguan, tetapi di pasar, di kantor bupati, di ruang sidang anggaran.
Kalau gereja terus lantang bersuara, itu bukan karena kami merasa paling kudus. Kami juga sering jatuh.
Tapi karena tugas kenabian itu lahir dari pengakuan: kita semua rapuh, namun tak rela membiarkan dunia terus digiring ke meja yang salah. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.