Opini

Opini: Meja Terhormat, Kursi Pesisir dan Iman yang Gagap

Ini pembalikan total tata sosial yang menuhankan gengsi. Kerajaan Allah yang Yesus tawarkan justru menjungkirbalikkan meja kuasa.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Gereja harus terus mengingatkan bahwa tugas utama pemimpin publik bukanlah memupuk popularitas atau menghias baliho, melainkan memastikan guru tak menunggu gaji berbulan-bulan, nelayan tak kehilangan pantai, anak-anak tak hanya dapat hafalan, tapi bisa berpikir kritis.

Moltmann dalam The Church in the Power of the Spirit menegaskan: “The church is not an institution among others in society, but a sign of the new creation that God promises to the world.” 

Gereja bukan sekadar ornamen tambahan negara. Gereja adalah tanda dunia baru. Karena itu kita tak boleh bungkam ketika kebijakan publik abai pada yang lemah.

Siapa yang duduk di meja kita?

Kalau Yesus hari ini datang ke aula Musrenbang, rapat DPRD, atau meja tender proyek di Sabu Raijua, mungkin Dia akan bertanya:

“Mana orang cacat? Mana guru yang menanti sertifikasi? Mana nelayan yang perahunya patah? Kenapa hanya nama-nama investor politik dan kroni kontraktor yang hadir?”

Lukas 14 menggugat cara kita memaknai kehormatan. 

Di sini, kerendahan hati bukanlah strategi licik supaya kelak ditinggikan, tetapi kesadaran radikal: martabat manusia tidak bersumber pada meja kuasa, melainkan pada imago Dei — gambar Allah yang terpatri dalam setiap anak sekolah yang menulis di lantai kering, dalam guru yang menunda belanja dapur demi menunggu gaji cair, dalam nelayan yang berharap ombak tenang agar bisa berangkat melaut.

Itulah mengapa gereja harus terus bersuara. Kita tidak boleh hanya sibuk memarahi dosa moral individual sambil menutup mata pada dosa struktural yang menindas hidup rakyat. 

Sering kali, keheningan gereja justru adalah bentuk dosa sosial kita yang paling pekat.

Mengusik meja proyek dan menolak politik patron

Di tanah Sabu Raijua, kita tahu persis bagaimana politik barter bekerja. Proyek sering muncul bukan karena kebutuhan objektif rakyat, tetapi demi menebus janji suara di TPS. 

Jalan dibangun asal bukan basis lawan politik. Talud pantai muncul bukan demi menyelamatkan ekosistem, tapi demi kontrak politik yang sudah disepakati diam-diam.

Yesus jelas tak akan duduk nyaman di meja seperti itu. Ia justru akan membaliknya, sama seperti Ia membalik meja penukar uang di Bait Allah. 

Kerendahan hati Injil bukan sekadar menolak kursi terhormat. Ini adalah keberanian untuk menolak pola patronase yang menukar hidup rakyat dengan kontrak politik.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved