Opini

Opini: Keluarga dan Kesehatan Mental

Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi individu; dampaknya merambat ke seluruh sendi kehidupan keluarga. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Inosensius Enryco Mokos 

Oleh:  Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi ISBI Bandung, Jawa Barat

POS-KUPANG.COM - Setiap tanggal 26 Juni, kita merayakan Hari Keluarga Nasional, sebuah penanda penting untuk merenungkan kembali fondasi masyarakat kita yaitu keluarga. 

Namun, di balik hangatnya kebersamaan dan potret ideal keutuhan, tersembunyi sebuah dimensi krusial yang kerap terabaikan: kesehatan mental. 

Keluarga adalah ekosistem pertama dan utama tempat individu tumbuh dan membentuk identitas, namun juga tempat di mana bibit-bibit permasalahan emosional dapat berakar jika tidak ditangani dengan baik. 

Akar masalah dari pengabaian ini seringkali terletak pada kurangnya pemahaman yang memadai tentang kompleksitas kesehatan mental yang sering kali tidak terlihat secara fisik.

Tabu budaya dan norma sosial yang membuat topik ini menjadi sulit dibicarakan karena dianggap aib atau kelemahan pribadi, serta fokus yang berlebihan pada aspek fisik semata tanpa menyadari keterkaitan erat antara raga dan jiwa yang tak terpisahkan. 

Kini, di tengah tekanan hidup modern dan paparan informasi yang tak henti, lebih dari sebelumnya, kita harus menyoroti betapa vitalnya peran keluarga dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan emosional anggotanya, sebagai investasi jangka panjang bagi masa
depan bangsa.

Krisis yang Mendesak dan Peran Sentral Keluarga

Kesadaran akan kesehatan mental dalam lingkup keluarga bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan mendesak yang mendasari stabilitas individu dan kolektif. 

Data global dan nasional terus menunjukkan peningkatan prevalensi gangguan kesehatan mental yang mengkhawatirkan. 

Laporan terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2023 memperkirakan bahwa hampir satu miliar orang di seluruh dunia hidup dengan gangguan mental, yang setara dengan satu dari delapan orang, dan angka ini terus meningkat, diperparah oleh berbagai krisis global. 

Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 telah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 9,8 persen dari populasi, atau sekitar 20 juta jiwa. 

Hal yang lebih mencemaskan, studi dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2022 menemukan peningkatan gejala kecemasan dan depresi yang signifikan di kalangan remaja pasca- pandemi, dengan sekitar 1 dari 3 remaja mengalami masalah kesehatan mental. 

Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi individu; dampaknya merambat ke seluruh sendi kehidupan keluarga. 

Ketika seorang anggota keluarga berjuang, fondasi komunikasi dapat goyah, konflik mudah muncul, performa akademik atau pekerjaan menurun drastis, dan kualitas hidup seluruh anggota bisa menurun secara substansial. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved