Opini

Opini: Keluarga dan Kesehatan Mental

Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi individu; dampaknya merambat ke seluruh sendi kehidupan keluarga. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Inosensius Enryco Mokos 

Data dari hasil survei yang dilakukan oleh The Lancet Psychiatry pada tahun 2020 menunjukkan bahwa stigma adalah salah satu hambatan terbesar dalam akses ke layanan kesehatan mental secara global, jauh melampaui hambatan finansial atau geografis, dan sering kali menjadi penyebab utama mengapa individu menunggu terlalu lama sebelum mencari diagnosis atau terapi.

Mengatasi stigma harus dimulai dari internal keluarga, dari setiap rumah tangga. 

Ini memerlukan edukasi yang berkelanjutan dan masif bahwa gangguan mental adalah kondisi medis yang sama validnya dengan penyakit fisik, seperti diabetes, hipertensi, atau asma, yang memerlukan perhatian dan penanganan medis yang tepat. 

Kampanye kesadaran nasional yang digalakkan oleh Kementerian Kesehatan, seperti Gerakan Masyarakat Hidup Sehat  yang kini juga menyentuh aspek kesehatan jiwa, harus didukung dan diinternalisasikan dalam setiap keluarga. 

Orang tua perlu menjadi teladan dalam menunjukkan kerentanan mereka sendiri secara sehat—mengakui ketika mereka merasa stres, sedih, atau membutuhkan istirahat—mengajarkan anak-anak untuk mengidentifikasi emosi mereka sendiri dan orang lain, dan normalisasi pencarian bantuan profesional sebagai tanda kekuatan, bukan kelemahan. 

Mengakui secara jujur bahwa "tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja" adalah sebuah langkah revolusioner dalam rumah tangga mana pun, membuka pintu bagi percakapan yang jujur dan penyembuhan. 

Selain itu, media massa, tokoh masyarakat, dan lembaga pendidikan juga memiliki peran krusial dalam mengubah narasi seputar kesehatan mental,
menghadirkan kisah-kisah keberhasilan pemulihan, dan mempromosikan lingkungan yang lebih inklusif.

Pada Hari Keluarga Nasional ini, marilah kita berkomitmen untuk merawat bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwa setiap anggota keluarga dengan kesadaran dan kasih saying yang penuh. 

Mari kita pecahkan tembok stigma yang menghalangi, jalin ikatan emosional yang kuat dan otentik, serta bangun komunikasi yang transparan dan jujur. 

Seperti yang diutarakan oleh filsuf Immanuel Kant, dalam etika deontologinya, setiap individu memiliki martabat intrinsik (Dignität) yang harus dihormati dan tidak boleh diperlakukan hanya sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan pada dirinya sendiri. 

Menjaga kesehatan mental anggota keluarga adalah wujud nyata dari penghormatan terhadap martabat tersebut, sebuah bentuk tanggung jawab moral yang luhur. 

Dengan menjadikan keluarga sebagai benteng utama dukungan, pemahaman, dan penerimaan tanpa syarat, kita tidak hanya menciptakan individu yang lebih sehat, tangguh, dan berdaya, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih berempati, inklusif, dan sejahtera secara keseluruhan. 

Keluarga adalah tempat kita pulang, dan seharusnya menjadi tempat dimana jiwa kita menemukan kedamaian, penerimaan, dan dukungan sejati yang abadi. Semoga! (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved