Opini
Opini: Disfungsi Dewan Komisaris dalam Kasus Bank NTT, Sebuah Evaluasi Kritis
Bank NTT, sebagai salah satu bank BUMD tidak lepas dari berbagai sorotan publik dalam waktu belakangan ini.
Kasus Bank NTT dapat menjadi precedent negatif yang mempengaruhi persepsi publik terhadap efektivitas tata kelola perbankan Indonesia secara keseluruhan.
Hal ini dapat mendorong regulator untuk menerapkan regulasi yang lebih ketat bagi seluruh industri.
Langkah Reformasi yang Diperlukan
1. Penguatan Kompetensi dan Profesionalisme
Regulator perlu mempertimbangkan pengetatan persyaratan fit and proper test untuk komisaris bank, dengan emphasis pada pemahaman mendalam tentang manajemen risiko, instrumen keuangan kompleks, dan best practices dalam corporate governance.
Selain itu, perlu ada program continuing education yang mandatory bagi komisaris untuk memastikan mereka selalu update dengan perkembangan terbaru dalam industry perbankan dan teknik pengawasan.
2. Implementasi Independent Oversight Mechanism
Bank perlu mengembangkan mekanisme pengawasan independen yang memberikan akses langsung kepada komisaris terhadap informasi kritis tanpa melalui filter manajemen.
Hal ini dapat berupa direct reporting line dari internal audit, risk management, dan compliance kepada komisaris.
3. Reformasi Struktur Kompensasi dan Akuntabilitas
Struktur kompensasi komisaris perlu dikaitkan dengan performance tata kelola bank, bukan hanya kinerja finansial jangka pendek.
Selain itu, perlu ada mekanisme accountability yang jelas ketika terjadi kegagalan pengawasan, termasuk sanksi personal bagi komisaris yang lalai.
4. Teknologi untuk Mendukung Pengawasan
Pengembangan dashboard real-time yang memberikan visibilitas langsung kepada komisaris terhadap key risk indicators, unusual transactions, dan trend portfolio dapat memperkuat fungsi pengawasan.
Teknologi artificial intelligence juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan early warning yang lebih akurat.
Kesimpulan
Kasus Bank NTT mengungkap disfungsi fundamental dalam peran dewan komisaris sebagai guardian of stakeholder interests.
Kegagalan pengawasan terhadap transaksi berisiko tinggi, lemahnya deteksi fraud, dan tidak efektifnya pengendalian internal menunjukkan bahwa komisaris tidak menjalankan fiduciary duty mereka dengan baik.
Reformasi tata kelola perbankan Indonesia tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan cosmetic atau compliance-driven semata.
Diperlukan transformasi mendasar dalam kapasitas, independensi, dan akuntabilitas dewan komisaris sebagai pilar utama corporate governance.
Pengalaman Bank NTT harus menjadi momentum untuk mereformasi keseluruhan ramework pengawasan perbankan, dengan fokus pada penguatan human governance sebagai complement terhadap technological solutions.
Hanya dengan pendekatan komprehensif ini, industri perbankan Indonesia dapat membangun fondasi tata Kelola yang truly resilient dan sustainable.
Stakeholder perbankan, mulai dari regulator hingga investor, harus mengambil pelajaran dari kasus ini bahwa efektivitas dewan komisaris bukan luxury, tetapi necessity yang menentukan survival dan credibility industri perbankan di masa depan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.